oleh
Dr. SULAIMAN, S.H., M.Hum.
Ketua
Alumni Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Aceh
Doktor Ilmu Hukum Univ. Diponegoro Semarang
KKR
singkatan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Hak
Asasi Manusia, yang sudah berumur 63 Tahun setelah kita menerima Dokumen Declaration of Human Rights
(UDHR), dokumen internasional yang menjadi standar pencapaian yang berlaku bagi
semua rakyat dan semua negara, dokumen tersebut menjadi fondasi bagi tatanan
dunia baru guna menghapus sejarah masa
lalu yang penuh pelanggaran HAM. Para korban
pelanggaran berat Hak Asasi Manusi, yang belum merasakan adanya tanda-tanda
untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dimaksud, Korupsi dan HAM opini di Serambi Indonesia oleh
Saifudin Bantasyam, tgl (12/12/2011) menyatakan bahwa “Di Aceh, masih banyak korban, namun bantuan
untuk mereka mulai terengah-engah dan memasuki ketidakpastian. KKR yang
diharapkan, sukar diprediksi kapan akan diwujudkan.”
Sementara sifat dasar yang melandasi pengertian HAM adalah Inheren
(melekat pada manusia): HAM dimiliki manusia
martabatnya sebagai manusia. HAM tidak diberi, tidak bisa dibeli,
tidak diwariskan dan tidak diperoleh dengan cara apapun, dan Universal:
HAM berlaku untuk semua orang di seluruh dunia, karena
HAM merupakan prinsip-prinsip
yang diterima secara umum tanpa dipengaruhi
oleh ras, jenis kelamin, Agama, etnis, dan pandangan politik serta pandangan lain, asal usul sosial atau kebangsaan.
Tulisan ini bermaksud untuk membahas bagaimana
pembentukan KKR Aceh, yang telah di tunggu-tunggu oleh korban pelanggaran berat
HAM dan pada umumnya rakyat Indonesia, walaupun terjadinya kontroversi terhadap
landasan hukumnya.
Untuk itu perlu penyelesaian kasus-kasus
Pelanggaran HAM di masa lalu di Aceh dengan membentuk sebuah komisi yang
disebut KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) berbasis kepada kearifan lokal,
dengan paradigma konstruktivisme (Realitas majemuk dan beragam, berdasarkan pengalaman sosial-individu, lokal, dan
spesifik. Merupakan “konstruksi” mental/intelektualitas manusia, bentuk dan isi
berpulang pada penganut/pemegang dapat berubah menjadi informed dan atau sophisticated, humanis). Jelas terlihat
bahwa dari paradigma tersebut dapat dikontruksikan agar semua persoalan-persoalan,
yang telah terjadi harus bisa diselesaikan, karena apabila tidak cepat
diselesaikan, lambat laun akan menjadi permasalahan-permasalahan baru.
Dengan melihat kondisi di Aceh, adanya permintaan untuk membentuk
KKR, yang dilakukan oleh Para Korban
Pelanggaran HAM, dengan dua aksi
demonstrasi antikorupsi, satu aksi lainnya dilancarkan oleh puluhan masyarakat
korban konflik dan mahasiswa yang tergabung dalam panitia bersama Kampanye 16
Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Aksi ini berlangsung di depan halaman
gedung DPRK Banda Aceh, Jumat (9/12). Mereka meminta Ketua DPRK meneken surat
dukungan untuk mendesak agar DPRA segera mengesahkan qanun/perda Komisi
Kebenaran dan Rekontruksi (KKR).
Aksi dimulai dengan berjalan kaki dari Taman Putroe Phang, Banda Aceh pukul
09.30 WIB. Mereka terus meneriakan yel-yel “KKR Harga Mati!” serta menuding
DPRA telah ingkar janji. Mereka juga mengatakan akan mengerahkan massa dalam
jumlah lebih banyak, jika DPRA tidak segera mengesahkan Qanun KKR. (Serambi, 10 Desember 2011).
Disini mungkin pihak-pihak terkait,
diingatkan kembali agar pembentukan KKR
tersebut harus segera di bentuk, mengapa hal itu harus di mintakan untuk pembentukan, sementara pembentukan KKR untuk
Aceh landasannya jelas dengan
diundangkanya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Pasal 229 ayat (1) untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi di
Aceh. Ayat (3) Komisi Kebenaran dan
rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan
perundang-undangan, dan ayat
(4) Dalam
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Aceh, KKR dapat
mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup di dalam masyarakat. Dari
penjelasan ayat pasal 229 ayat (3) yang
dimaksud dengan peraturan Perundang-undangan
dalam ketentuan ini adalah ketentuan
di dalam UU No. 27 tahun
2004 tentang KKR (telah di cabut
oleh Mahkamah konstitusi melalui keputusan Perkara Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006. Dengan dicabutnya UU tersebut maka penemuan hukum (rechtsvinding),
harus dilakukan, demi untuk kepentingan rakyat.
Disini yang menjadi pertanyaan mengapa
KKR di Aceh belum di bentuk? Pertanyaan kedua apa alasan belum dibentuk KKR di
Aceh?, UU No. 11 tahun 2011 tentang Pemerintah Aceh Pasal 260 Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana
dimaksud pada pasal 229 berlaku efektif paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini di undangkan.
Menjawab Pertanyaan pertama mungkin mengingat telah di cabutnya UU No. 27 tahun
2004 tentang KKR melalui putusan
Perkara Mahkamah Konstitusi No.
006/PUU-IV/2006. Menjawab pertanyaan kedua alasannya adalah tidak ada landasan
hukum yang kuat.
Walau apupun alasannya namun KKR Aceh harus
terbentuk, mengingat pelanggaran berat
HAM masa lalu di Indonesia muncul tiga pendekatan utama, pertama, dengan
memaafkan dan melupakan apa yang telah terjadi, kemudian melanjutkan hidup”
begitu saja, kedua, dengan menuntut semua pelaku melalui jalur hukum dengan
menciptakan suatu pengadilan HAM, ketiga, menerima apa yang terjadi dimasa
lalu, sampai pada suatu tingkat kondisi tertentu, dengan fokus tujuan menguak
kebenaran dan menyediakan konpensasi dan kehabilitasi untuk para korban dengan mendirikan Komisi Kebenaran” dan hanya menuntut pelaku
utama di ajukan ke pengadilan. Namun di
Aceh mungkin saja tidak sama tuntutan dengan di Indonesia, karena di Aceh masih
mempertahankan Budaya lokal dengan kearifan lokal yang masih berlaku sampai
saat ini, kearifan lokal tersebut perlu menjadi bahan perenungan (contemplation), atau sebagai bahan
pertimbangan dalam pembentukan KKR Aceh, guna menjalankan amanah dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2006.
Meskipun terdapat kontroversi menyangkut
identifikasi hukum substantif dengan hukum pemerintah, dan hukum
prosedural dengan hukum adat setempat, para sarjana seperti Pospisil (1954), Bohannan (1969), Friedman (1969), Lev
(1972), Von Benda-Beckman (1984), dan Neder dan Todd (1978) pada umumnya setuju menggunakan istilah-istilah substantif dan prosedural
dalam menganalisis dimensi-dimensi hukum nasional dan hukum lokal dalam masyarakat non barat.
Konsep substantif dan prosedural digunakan bukan hanya untuk memahami hukum
dalam arti ide-ide, tetapi juga dalam arti penerapan hukum dan adat istiadat
termasuk bagaimana penyelesaian konflik
dilakukan. Menurut Bohannan (1969:284), hukum substantif adalah adalah seperangkat norma yang mengatur
apa yang mesti dilakukan orang menurut adat istiadat, aturan etis, moral dan perilaku. Sebaliknya,
hukum prosedural hanya mengatur
bagaimana orang biasanya menangani pemecahan konflik ketika terjadi
pelanggaran. Jadi hukum substantif
mempunyai makna yang lebih luas dari pada hukum prosedural, karena hukum ini tidak hanya terdiri dari
seperangkat peraturan yang tertulis dan yang tidak tertulis, seperti aturan,
perintah, hak, kewajiban dan tanggungjawab, serta sanksi-sanksi dalam
hukum publik dan privat, tetapi juga
meliputi semua prosedur yang mesti di ikuti.
Kearifan Lokal, kehidupan adat budaya
Aceh membuktikan banyak peristiwa
besar (berdarah), baik yang terjadi di Aceh, maupun di luar daerah, telah diselesaikan secara Adat
Damai (Ishlah/sayam/ rekonsiliasi), seperti:
1.
Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh Tahun 1962 Pelaksanaan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh,
suatu model, puncak
penyelesaian adat (Damai) berkaitan dengan peristiwa DI/TII dengan Pemerintah RI, dilaksanakan
pada tanggal 18 s.d 21
Desember 1962 di Blang Padang Banda Aceh. Penyelesaian Musyawarah Kerukunan itu
dihadiri oleh tokoh-tokoh
masyarakat, pemerintahan (sipil) dan militer di daerah beserta utusan Pemerintah Pusat yang ditujukan
untuk menyelesaikan segala
masalah yang selama 10 tahun terakhir mengganggu pengembangan dan pertumbuhan Aceh di segala bidang, dianggap terkubur habis. (A. Hasjmy, dkk,
1995:192)
2.
Di Sumatra Utara, yang
dipusatkan penyelesaian di Asahan antara masyarakat keturunan Aceh (menetap beranak
cucu) dengan masyarakat setempat, sekitar tahun 1980 dan kasus IPTR (Ikatan Pelajar Tanah
Rencong) di Medan dan banyak kasus-kasus lain di Gampong/dalam masyarakat
bersifat berat, pembunuhan/perkelahian, individual, antar-keluarga dan masyarakat, hampir
seluruhnya diselesaikan secara adat yaitu:
Meurukon Damei (Peujroehteuma).
Dan penulis juga mengutif opini dari DR.
Rahayu, SH.,M.Hum. dengan Judul “Beban Sejarah HAM” di tulis pada “Suara Merdeka”
sabtu 10 Desember 2011, bahwa “Tidak ada
pilihan bagi pemerintah Indonesia selain
secara bersungguh-sungguh harus
memperbaiki kinerja keberpihakannya
pada penegakan HAM. Apa pun persoalannya
harus segera diselesaikan sesuai norma hukum dengan
mengedepankan perlindungan dan penghormatan pada HAM, demokrasi,
keadilan, dan perdamaian agar kelak tidak
menjadi beban sejarah bagi generasi
mendatang. Karena, seperti kata Hannah
Arendt bahwa “negeri yang tak mampu
disinari oleh masa lalu hanya akan membara dalam kabut masa depan”.
Bila
kita simak banyak pendapat bahwa pelanggaran HAM harus diselesaikan baik melalui KKR ataupun melalui Pengadilan,
di Aceh bila kita kaji pada UU No. 11
Tahun 2011 tentang pemerintah Aceh Pasal 229 ayat (4) ada peluang untuk
membentuk KKR berdasarkan kearifan lokal,
KKR Aceh dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup di dalam
masyarakat, prinsip ini di Aceh masih ada, kebiasaan yang masih berlaku di Aceh
tercinta seperti, Dalam kehidupan keluarga Aceh, sebenarnya tidak ada ”dendam”,
karena sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama,
lagei zat ngon sifeut). Masyarakat mengenal ”asas tungbeela” yang dilakukan
karena terpaksa demi untuk ”membela diri/beela droe” guna menegakkan
kehormatan, Agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain. Dalam hubungan ”harkat
martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir
berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Mungkin kita masih teringat
dengan Afrika Selatan yang di lambangkan dalam
Nelson Mandela, mampu
membuka jalan baru: pemulihan harkat kemanusian (konsep afrika selatan: ubuntu atau harkat kemanusia sejati.
Sikap ini menjadi kemauan politik yang mengalahkan segala nafsu
balas dendam, yaitu dengan membentuk KKR.
Dasar munculnya KKR di Indonesia adalah TAP MPR No. V/MPR/2000 (Bab I –
huruf B alinea kedua, dan Bab V), dan UU No. 26 tahun 2000
Tentang Pengadilan HAM (Pasal 47 dan penjelasannya). Secara garis
besar kedua instrumen tersebut
menentukan hal-hal sebagai berikut:
Pertama Tap. MPR No. V/MPR/2000 berisi 3
pokok:
a.
Perintah pembentukan KKR dengan
tugas menegaskan kebenaran dan melaksanakan rekonsiliasi.
b.
Penegakan kebenaran tersebut harus
dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkap terlebih dahulu penyalahgunaan
kekuasaan dan membuka pelanggaran HAM
pada masa lalu.
c.
Pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, penegakan hukum,
amnesti, rehabilitasi, atau menempuh
alternatif lain yang bermanfaat
untuk menegakkan persatuan dan kesatuan
bangsa dengan sepenuhnya memperhatikan
rasa keadailan masyarakat.
Kedua UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
berikut penjelasnnya memuat 2 hal, yaitu:
a.
Terbukanya peluang
penyelesaian pelanggaran Ham masa lalu
melalui mekanisme KKR merupakan
alternatif dari pengadilan HAM
b.
KKR yang akan dibentuk adalah
institusi ekstra yudisial
yang bertugas mengungkap pelanggaran
HAM masa lalu, yang kemudian melakukan
rekonsiliasi.
KKR adalah fenomena yang timbul di era transisi
politik dari suatu rezim otoriter ke rezim demokratis, terkait dngan
persoalan penyelesaian kejahatan kemanusiaan yang dilakukan
rezim sebelumnya. KKR pertama kalinya dikenal di Argentina dan Uganda pada pertengahan
1980, dan sekarang menjadi fenomena
internasional dengan diikuti
proses tersebut di lebih 20 negara di dunia sebagai cara
mempertangggunjawabkan kejahatan HAM
yang terjadi di masa lalu. Beberapa diantaranya berhasil dengan baik, namun ada
juga yang setengah berhasil dan bahkan ada pula yang gagal.
Kesadaran pentinnya mengusut, mengungkap kebenaran dan meminta pertanggungjawaban rezim masa lalu melakukan kejahatan
kemanusiaan, secara teoritis diyakini oleh banyak aktivis pro demokrasi
merupakan jalan menuju demokrasi. Proses transisi menuju demokrasi harus
berjalan di atas proses sejarah yang jujur, adil dan bertanggung jawab.
Perintah baru harus menemukan jalan keluar untuk meneruskan kehidupannya,
menciptakan suasana damai serta mengubur kekejaman masa lampau.
Belajar dari pengalaman beberapa
negara pelanggaran berat HAM masa lalu,
maka dapat ditemukan berbagai bentuk
strategi. Ada yang mengadili secra massal pendukung orde terdahulu, ada yang menutup buku tanpa
syarat, bahkan ada yang melakukan peradilan rakyat seagaimana dilakukan di Perancis terhadap keluarga Louis
XIV dan sejumlah pejabatnya. Selain itu juga
terjadi pengadilan para pemenang yaitu dari penguasa baru
terhadap penguasa lama atas nama
kemanusiaan, seprti rezim Fidel castro
dan Ernsto “Che’ Guevara yang mengadili pejabat pemerintahan Fulgencio Batista
di Havana Kuba pada tahun 1960, pengadilan
Internasional terhadap
pimpinan NAZI dan pimpinan militer
Jepang yang berlangsung di Nuremberg dan tokyo.
Proses legal yang berhasil membawa para pelaku kejahatan masa lalu ke pengadilan pada masa transisi merupakan hal yang sangt
penting artinya karena proses ini mempunyai
peran besar menghapus praktek impunitas atau perlakuan istimewa’ lainnya
yang sebelumnya dinikmati oleh para pemimpin negara dan aparat negara tingkat
tinggi yang melanggar HAM di masa lalu. Rezim baru memerlukan legimasi sebagai
dasar stabilitas politik, dan proses pengadilan
adalah hal penting untuk
menunjukkan supremasi nilai-nilai dan norma-norma demokrasi agar kepercayaan
rakyat dapat diraih, karena pengadilan dapat meningkatkan konsolidasi demokrasi
jangka panjang (Samuel Huntington, 1991:114-124). Sebaiknya, kegagalan
mengadili dapat menyebabkan sinisme dan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem
politik, karena bila kejahatan tidak diselidiki dan tidak diadili maka akan berdampak pada tidak tumbuhnya rasa percaya maupun norma demokrasi masyarakat, sehinga tidak akan
terjadi konsolidasi demokrasi yang sesunguhnya.
Persoalannya apakah semua masalah dapat diselesikan menurut prosedur hukum formalyang prosedural, birokratis dan
normatif, yang menuntut ketersediaan
bukti-bukti formal dan material.
Dapatkah hakim berdiri tegak diantara tekanan sisa-sisa rezim lama yang
resisten terhadap berbagai upaya
pengungkapan kejahatan yang
pernah mereka lakukan di masa lalu? Para
pemimpin militer yang merasa terancam oleh pengadilan mungkinberusaha mengubah
mengubah keadaan dengan melakukn kudeta, pemberontakan, ancaman atau
konfrontasi lain yang akan melemahkan kekuasaan dari pemerintah sipil. Dalam
keadaan demikian, ikhawatirkan pengadilan justru akan memperkuat kecendrungan
militer menantang institusi demokrasi.
Disamping itu mekanisme penyelesaian
kejahatan masa lalu melalui pengadilan
ini ternyata memiliki keterbatasan, yaitu: (Eko Riyadi (Ed) 2008:367)
a.
Sulit terpenuhinya persyaratan
bukti-bukti legal untuk suatu proses hukum, karena pada umumnya alat-alat bukti sudah lenyap atau sengaja
dilenyapkan.
b.
Para korban atau saksi takut mengambil
risiko mengambil kesaksian.
c.
Lembaga peradilan pada umumnya lemah dan
tidak dipercaya, terutama lembaga
peradilan yang pernah menjadi instrumen rezim otoritarian sebelumnya.
d.
Instrumen hukum yang tersedia
tidak cukup mampu menjaring kejahatan negara terorganisir, karena konstruksi
pasal-pasal dalam hukum publik lebih pada kejahatan-kejahatan individual.
e.
Anggota militer, sisa-sisa kekuatan orde otoritarian, termasuk birokrasi
sipil yan pernah menjadi bagian dari kejahatan kemanusiann masa lalu secara
terbuka atau rahasia menentang dan
mengancam setiap proses hukum yang akan mengnukap kejahatan rezim masa lalu
itu.
Kesulitan dan kekhawatiran tidak dapat
bekerjanya proses hukum formal menangani kejahatan masa lalu, serta
kekhawatiran bahwa jalan itu bisa membawa bangsa itu kembali ke rezim otoriter,
maka situasi tersebut menjadi dorongan
kuat perlunya mekanisme baru sebagai
model penyelesaian alternatif
yang kemudian dikenal sebagai “Komisi
Kebenaran dan rekonsiliasi”.
Pembentukan KKR hampir selalu
berada dalam konteks transisi
pemerintahan, yaitu dari pemeintahan totaliter menuju pemerintahan demokratis. Pertumbuhan KKR semenjak pertama kali muncul sejak dekade 1980 berlangsung
sangat pesat. Sampai saat ini belum ada satu pun definisi yang diterima secara umum tentang KKR, dan hanya dikenal
sebagai penamaan umum tentang KKR, dan
hanya dikenal sebagai penamaan umum terhadap komisi-komisi yang dibentuk pada situasi transisi politik dalam rangka menangani pelanggaran
berat atau kejahatan HAM di masa lalu. Menurut Priscilia Hayner,
terdapat 6 elemen yang dapat dikatakan sebagai karakter umum
KKR, yaitu: (Priscilila Hayner, 1994:5)
a.
Fokus penyelidikannya pada kejahatan
masa lalu;
b.
Terbentuk beberapa saat setelah rezim otoriter tumbang;
c.
Tujuannya adalah menadapat gambaran yang
komprehensif mengenai kejahatan HAM dan pelanggaran hukum internasional pada suatu
kurun waktu tertentu, dan tidak
memfokuskan pada suatu kasus;
d.
Dibentuknya untuk suatu jangka waktu
tertentu, biasanya berakhir setelah laporan akhir selesai dikerjakan;
e.
Memiliki kewenangan untuk mengakses
informasi ke lembaga apa pun, dan mengajukan perlindungan untuk mereka yang
memberikan kesaksian;
f.
Pada umumnya dibentuk secara resmi oleh negara, baik melalui
peraturan hukum nasional maupun oleh PBB (seperti KKR El Salvador)
Model penyelesaian alternatif melalui
KKR merupakan ‘kawan’ bagi penyelesaian
hukum, meskipun memiliki mekanisme dan akhir yang berbeda. Ide dasar KKR
adalah rekonsiliasi antara pelaku dan
korban pelanggaran HAM yang dilakukan dengan pengungkapan keberanaran
terhadap semua peristiwa secara
menyeluruh, memberikan kesempatan kepada korban untuk bicara dan menerima
penjelasan tentang kejadian-kejadian penting yang berhubungan dengan
pelanggaran HAM masa lalu. Dengan cara ini diharapkan dapat meletakkan fondasi terungkapnya kebenaran demi tegaknya
keadilan, yang pada gilirannya
tercapai rekonsiliasi. Hal in penting
karena keadilan transisional lebih dari sekedar menangai pelanggaran HAM kasus per kasus, melainkan
merupakan dasar moral sebuah reformasi pemerintah dan masyarakat
yang menghormati martabat manusia melalui cara-cara yang demokratis, non kekerasan dan sesusai dengan prinsip sipremasi hukum. Hal ini bertujuan
agar kesalahan yang sama tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
KKR mempunyai keistimewaan dalam cakupan, ukuran dan
mandatnya. Hal ini dapat dilihat
bahwa KKR dibentuk untuk mencapai beberapa
atau keseluruhan tujuan komisi
sbb: (lihat seri Kajian KKR, Elsam, Nomor 1 Tahun 2000)
a.
Memberi arti kepada suara
korban secara individu dengan mengijinkan mereka memberikan pernyataan kepada komisi dalam forum dengar pendapat berkaitan dengan pelanggaran
HAM yang mereka derita.
b.
Pelurusan sejarah berkaitan dengan peristiwa-peristiwa besar pelanggaran HAM yang biasanya disanggah
oleh pengusaha, atau merupakan sebuah subyek pertikaian yang sangat
kontroversial, dan KKR dapat membantu menyelesaikan masalah dengan membeberkan
peristiwa secara kredibel dan
perhitungan data.
c.
Pendidikan dan pengetahuan publik.
d.
Memeriksa pelanggaran HAM sistematis menuju reformasi kelembagaan
terutama akibat dan sifat dari
pelanggaran HAM yang melembaga dan sistematik.
e.
Memberikan assesment tentang akibat
pelanggaran HAM terhadap diri Korban, dimana
Komisi dapat merekomendasikan beberapa
cara untuk membantu korban
menghadapi dan mengatasinya.
f.
Pertanggungjawaban para pelaku
kejahatan.
KKR pernah diupayakan untuk
dibentuk di Indonesia.
Berakhirnya kekuasaan otoritarian Orde Baru pada Mei 1998 membawa
Indonesia memasuki era baru
yang dikenal dengan babak transisi dimana perangkat sistem demokrasi,
yaitu penghormatan kepada HAM dan
supremasi hukum harus diupayakan dapat dibangun
sehingga masa transisi dapat
dilewati. Salah satu mandat era transisi
adalah menyeleikan kejahatan kemanusian
yang dilakukan penguasa Orde Baru
sejalan dengan konsep keadilan transisional (transisional justice), menurut Taitel adalah: masalah keadilan
transisional yang tidak terselesaikan dapat menimbulkan implikasi yang berkepanjangan pada suatu negara.
Desakan
untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM di Indonesia sudah dilakukan sejak masa pemerintahan
Habibi, Gus Dur, dan Megawati, desakan tersebut yang beberpa diantaranya sudah di tindak lanjuti
melalui proses pengadilan, namun proses dan putusan yang di hasilkan belum
dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama keadilan korban. Sehingga
mendorong dibentuknya KKR, dan pada tahun 2004 maka lahir lah UU No. 27 tahun
2004 tentang KKR yang terdiri dari 10 bab dan 45 pasal, akhirnya bab dan pasal
tersebut layu sebelum berkembang, karena
dinyatakan tidak sesuai /bertentangan dengan UUDNRI 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, dengan sendirinya tidak lagi dianggap ada. (Dr. Rahayu,
SH.,M.Hum, 2010:135-136)
KKR
mempunyai fungsi kelembagaan yang
bersifat publik untuk mengungkap kebenaran atas pelanggaran berat HAM dan melaksanakan
rekonsiliasi. Dalam hal ini Komisi
memilik tugas:
a.
Menerima pengaduan atau laporan dari
pelaku, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya;
b.
Melakukan penyelidikan dan klarifikasi
atas pelanggaran HAM yang berat.
c.
Memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam hal permohonan amnesti;
d.
Menyampaikan rekomendasi kepada
Pemerintah dalam hal pemberian komberian kompensasi dan/atau rehabilitasi;
e.
Menyampaikan laporan tahunan dan laporan akhir tentang
pelaksanaan tugas dan
wewenang berkaitan dengan perkara yang
ditanganinya, kepada Presiden dan DPR dengan
tembusan kepada MA.
Dalam melaksanakan
tugas tersebut Komisi mempunyai
wewenang:
a.
Melaksanakan penyelidikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b.
Meminta keterangan kepada korban, ahli
waris korban, perilaku, dan/atau pihak lain, baik di dalam maupun di luar
negeri.
c.
Meminta dan mendapatkan dokumen
resmi dari instansi sipil atau militer
serta badan lain, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri.
d.
Melakukan koordinasi dengan instansi
terkait, baik di dalam maupun di luar
negeri untuk memberikan perlindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku dan
barang bukti sesuai dengan peraturan
perundangan.
e.
Memanggil setiap orang
yang terkait untuk memberikan
keterangan dan kesaksian.
f.
Memutuskan pemberian kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau
amnesti apabila perkara sudah didaftarkan ke Pengadilan HAM.
Pertanyaan
terakhir yaitu “Kita bernegara hukum untuk apa?” (Satjipto Raharjo, 2006:9-10)
Hukum itu mengatur masyarakat
semata-mata untuk mengatur atau untuk
sesuatu yang tujuan yang lebih besar, tulisan ini adalah untuk berpikir bahwa, pada akhirnya pengaturan oleh hukum tidak menjadi sah semata-mata karena ia adalah
hukum, tetapi karena mengejar suatu tujuan dan cita-cita tertentu. Di sini
diajukan pendapat filsafat, hukum
hendaknya bisa memberi kebahagiaan
kepada rakyat dan bangsanya. Untuk itu ciptakanlah/temukanlah hukum dengan
sebaik-baik.
* Pernah dimuat di Jurnal Mediasi Fakultas Hukum Unmuha