.
SELAMAT DATANG DI SITUS IKATAN ALUMNI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH (IKAFHUMA)

Sabtu, 23 Agustus 2014

Data Alumni Fakultas Hukum Unmuha Tahun 2009

Nama                                : Deddy Muttaqin
Nomor Pokok Mahasiswa : 0301110032
Tempat Tanggal Lahir        :
Tanggal Lahir                     : 19/ Mei 1984
Tanggal Lulus                     : 11 Agustus 2009
Alamat                               : Jakarta Jakarta Pusat Provinsi DKI




Nama                                :
Nomor Pokok Mahasiswa :
Tempat Tanggal Lahir        :
Tanggal Lahir                     :
Tanggal Lulus                     :
Alamat                               : 

KUNCI MENULIS

Oleh : Pujiaman
Menulis itu sangat asik, bila kita sudah terbiasa, akan tetapi tidak semua orang itu bisa menulis. Hal ini disebabkan karena sebagian orang berasumsi menulis itu sulit. Pernyataan ini kerap kali membelengku keinginannya untuk menulis. Karena bagi penulis pemula terkadang sering terjebak dan menjadi delematis pada tahap ini.

Sebenarnya menulis itu sangat mudah, asalkan didasari oleh kemauan. Didalam menulis sangat diperlukan kemauan dari sipenulis terserah apa yang mau ditulis. Akan tetapi kebanyakan dari kita hanya memiliki sekedar kemauan belaka tetapi bukan kemauan yang sesungguhnya dan sering kali kita jumpai ketika menulis itu tidak tahu apa yang hendak ditulis. poblemnya dikarenakan akibat kurang membaca sehingga keterbatasan informasi untuk menulis.

Bila kita ibaratkan menulis itu dengan proses makan. Maka yang kita makan itu adalah inputnya dan outputnya adalah tenaga dan juga daya untuk berpikir. Sama halnya bila seseorang tidak makan, maka tidak mungkin tidak bisa menghasilkan tenaga dan tidak juga untuk berpikir lebih focus serta tidak mampu mengolah akal intelektualnya dalam menelaah sesuatu. Begitu juga dengan menulis, bila tidak ada input informasi maka tidak mungkin ada output yang dihasilkan.

Membaca merupakan input segala informasi yang kemudian diolah oleh kemampuan intelektual sehingga menghasil output.

Nah, Dari output inilah kemudian kita tumpah dalam sebuah tulisan. Misal anda hari ini membaca sebuah buku, walaupun selembar buku namun proses input informasi diisni telah terjadi dan kemudian dicerna sehingga menghasilkan output. 

Kunci untuk menulis itu hanya memerlukan kemauan yang sungguh-sungguh, dari kemauan ini kita akan menulis apa saja yang kita pikirkan dan jangan pernah sekali – kali ‘Memikirkan apa yang harus kita tulis’ karena hal ini justru menjadi delematis yang akan menjebak inpirasi ketika hendak menulis, akan tetapi cobalah ‘Tulis apa yang kita pikirkan’.

Hal ini akan memudahkan anda ketika menulis, sama hal nya ketika kita Update status Facebook.“Apa yang anda pikirkan?”. Pertanyaan ini mengawali semangat kita untuk Update status Facebook. Begitu juga bila anda mengawali tulisan anda dengan menjawab pertanyaan “Apa yang anda pikirkan?” maka dengan sendirinya anda menulis jawaban dari “apa yang anda pikirkan”, Meskipun jawaban yang anda tulis tersebut terlalu singkat.

Nah, bila anda sudah membaca bacaan ini, mulai dari sekarang cobalah tulis apa yang anda pikirkan. Cerita, artikel atau hal-hal lain, silahkan tulis walaupun selembar kertas. Karena dasar seorang penulis yang profesional itu juga mengalami problem seperti anda – anda ketika berada pada tahap penulis pemula.

Dan satu lagi, dengan anda menulis berarti anda sudah mengulang kaji tentang apa yang anda tulis. Proses ini akan menjadi wadah bagi anda untuk terus memaksa diri anda untuk terus membaca dan menggali semua informasi yang menyempurnakan tulisan anda.



Sumber :

REKONSTRUKSI KKR-ACEH (Paradigma Konstruktivisme)




oleh
Dr. SULAIMAN, S.H., M.Hum.
Ketua Alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh
Doktor  Ilmu Hukum Univ. Diponegoro Semarang

KKR  singkatan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,   Hak Asasi Manusia, yang sudah berumur 63 Tahun setelah kita menerima Dokumen Declaration of Human Rights (UDHR), dokumen internasional yang menjadi standar pencapaian yang berlaku bagi semua rakyat dan semua negara, dokumen tersebut menjadi fondasi bagi tatanan dunia baru  guna menghapus sejarah masa lalu yang penuh pelanggaran HAM.     Para korban pelanggaran berat Hak Asasi Manusi, yang belum merasakan adanya tanda-tanda untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dimaksud, Korupsi dan HAM opini di Serambi Indonesia oleh Saifudin Bantasyam, tgl (12/12/2011) menyatakan bahwa  “Di Aceh, masih banyak korban, namun bantuan untuk mereka mulai terengah-engah dan memasuki ketidakpastian. KKR yang diharapkan, sukar diprediksi kapan akan diwujudkan.” Sementara sifat dasar yang melandasi pengertian  HAM  adalah Inheren (melekat pada manusia): HAM dimiliki manusia  martabatnya  sebagai  manusia. HAM tidak diberi, tidak bisa dibeli, tidak diwariskan dan tidak diperoleh dengan cara apapun, dan Universal: HAM  berlaku  untuk semua orang di seluruh  dunia, karena  HAM merupakan  prinsip-prinsip yang diterima secara umum tanpa dipengaruhi  oleh ras, jenis kelamin, Agama, etnis, dan pandangan  politik serta pandangan  lain, asal usul sosial atau kebangsaan.  
Tulisan  ini bermaksud untuk membahas bagaimana pembentukan KKR Aceh, yang telah di tunggu-tunggu oleh korban pelanggaran berat HAM dan pada umumnya rakyat Indonesia, walaupun terjadinya kontroversi terhadap landasan hukumnya.
Untuk itu perlu penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM di masa lalu di Aceh dengan membentuk sebuah komisi yang disebut KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) berbasis kepada kearifan lokal, dengan paradigma konstruktivisme (Realitas majemuk  dan beragam, berdasarkan  pengalaman sosial-individu, lokal, dan spesifik. Merupakan “konstruksi” mental/intelektualitas manusia, bentuk dan isi berpulang  pada penganut/pemegang  dapat berubah menjadi informed dan atau sophisticated, humanis). Jelas terlihat bahwa dari paradigma tersebut dapat dikontruksikan agar semua persoalan-persoalan, yang telah terjadi harus bisa diselesaikan, karena apabila tidak cepat diselesaikan, lambat laun akan menjadi permasalahan-permasalahan baru. 
Dengan melihat kondisi  di Aceh, adanya permintaan untuk membentuk KKR, yang dilakukan   oleh Para Korban Pelanggaran HAM, dengan  dua aksi demonstrasi antikorupsi, satu aksi lainnya dilancarkan oleh puluhan masyarakat korban konflik dan mahasiswa yang tergabung dalam panitia bersama Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Aksi ini berlangsung di depan halaman gedung DPRK Banda Aceh, Jumat (9/12). Mereka meminta Ketua DPRK meneken surat dukungan untuk mendesak agar DPRA segera mengesahkan qanun/perda Komisi Kebenaran dan Rekontruksi (KKR).
Aksi dimulai dengan berjalan kaki dari Taman Putroe Phang, Banda Aceh pukul 09.30 WIB. Mereka terus meneriakan yel-yel “KKR Harga Mati!” serta menuding DPRA telah ingkar janji. Mereka juga mengatakan akan mengerahkan massa dalam jumlah lebih banyak, jika DPRA tidak segera mengesahkan Qanun KKR. (Serambi, 10 Desember 2011).
Disini mungkin pihak-pihak terkait, diingatkan kembali agar  pembentukan KKR tersebut harus segera di bentuk, mengapa hal itu harus di mintakan untuk  pembentukan, sementara pembentukan KKR untuk Aceh landasannya   jelas dengan diundangkanya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah  Aceh, Pasal 229 ayat (1) untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan undang-undang ini  dibentuk Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh. Ayat (3) Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh bekerja  berdasarkan  peraturan  perundang-undangan, dan  ayat (4) Dalam  menyelesaikan  kasus  pelanggaran HAM di Aceh, KKR dapat mempertimbangkan  prinsip-prinsip  adat yang hidup di dalam masyarakat. Dari penjelasan ayat pasal 229 ayat (3)  yang dimaksud dengan peraturan Perundang-undangan  dalam ketentuan  ini adalah  ketentuan  di dalam  UU No. 27 tahun 2004  tentang KKR (telah di cabut oleh  Mahkamah konstitusi  melalui keputusan  Perkara Mahkamah Konstitusi  No. 006/PUU-IV/2006.  Dengan dicabutnya UU tersebut maka  penemuan hukum  (rechtsvinding), harus dilakukan, demi untuk kepentingan rakyat.
Disini yang menjadi pertanyaan mengapa KKR di Aceh belum di bentuk? Pertanyaan kedua apa alasan belum dibentuk KKR di Aceh?, UU No. 11 tahun 2011 tentang Pemerintah Aceh Pasal 260 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  di Aceh sebagaimana dimaksud  pada pasal 229 berlaku efektif  paling lambat 1 (satu) tahun  sejak Undang-Undang ini di undangkan. Menjawab Pertanyaan pertama mungkin mengingat telah di cabutnya UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR melalui putusan  Perkara  Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006. Menjawab pertanyaan kedua alasannya adalah tidak ada landasan hukum yang kuat.  
Walau apupun alasannya namun KKR Aceh harus terbentuk, mengingat pelanggaran  berat HAM masa lalu di Indonesia muncul tiga pendekatan utama, pertama, dengan memaafkan dan melupakan apa yang telah terjadi, kemudian melanjutkan hidup” begitu saja, kedua, dengan menuntut semua pelaku melalui jalur hukum dengan menciptakan suatu pengadilan HAM, ketiga, menerima apa yang terjadi dimasa lalu, sampai pada suatu tingkat kondisi tertentu, dengan fokus tujuan menguak kebenaran dan menyediakan konpensasi dan kehabilitasi  untuk para korban dengan mendirikan  Komisi Kebenaran” dan hanya menuntut pelaku utama di ajukan ke pengadilan. Namun  di Aceh mungkin saja tidak sama tuntutan dengan di Indonesia, karena di Aceh masih mempertahankan Budaya lokal dengan kearifan lokal yang masih berlaku sampai saat ini, kearifan lokal tersebut perlu menjadi bahan perenungan (contemplation), atau sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan KKR Aceh, guna menjalankan amanah dari  Undang-Undang No. 11 Tahun 2006. Meskipun  terdapat kontroversi  menyangkut  identifikasi hukum substantif dengan hukum pemerintah, dan hukum prosedural dengan hukum adat setempat, para sarjana seperti Pospisil  (1954), Bohannan (1969), Friedman (1969), Lev (1972), Von Benda-Beckman (1984), dan Neder dan Todd (1978) pada umumnya  setuju menggunakan  istilah-istilah substantif dan prosedural dalam menganalisis dimensi-dimensi hukum nasional  dan hukum lokal dalam masyarakat non barat. Konsep substantif dan prosedural digunakan bukan hanya untuk memahami hukum dalam arti ide-ide, tetapi juga dalam arti penerapan hukum dan adat istiadat termasuk bagaimana penyelesaian  konflik dilakukan. Menurut Bohannan (1969:284), hukum substantif adalah  adalah seperangkat norma  yang mengatur  apa yang mesti dilakukan orang menurut adat istiadat,  aturan etis, moral dan perilaku. Sebaliknya, hukum  prosedural hanya mengatur bagaimana orang biasanya menangani pemecahan konflik ketika terjadi pelanggaran. Jadi hukum substantif  mempunyai makna yang lebih luas dari pada hukum prosedural, karena  hukum ini tidak hanya terdiri dari seperangkat peraturan yang tertulis dan yang tidak tertulis, seperti aturan, perintah, hak, kewajiban dan tanggungjawab, serta sanksi-sanksi dalam hukum  publik dan privat, tetapi juga meliputi semua prosedur yang mesti di ikuti.
 Kearifan Lokal, kehidupan adat budaya Aceh membuktikan banyak peristiwa besar (berdarah), baik yang terjadi di Aceh, maupun di luar daerah, telah diselesaikan secara Adat Damai (Ishlah/sayam/ rekonsiliasi), seperti:
1.              Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh Tahun 1962 Pelaksanaan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, suatu model, puncak penyelesaian adat (Damai) berkaitan dengan peristiwa DI/TII dengan Pemerintah RI, dilaksanakan pada tanggal 18 s.d 21 Desember 1962 di Blang Padang Banda Aceh. Penyelesaian Musyawarah Kerukunan itu dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, pemerintahan (sipil) dan militer di daerah beserta utusan Pemerintah Pusat yang ditujukan untuk menyelesaikan segala masalah yang selama 10 tahun terakhir mengganggu pengembangan dan pertumbuhan Aceh di segala bidang, dianggap terkubur habis. (A. Hasjmy, dkk, 1995:192)
2.                Di Sumatra Utara, yang dipusatkan penyelesaian di Asahan antara masyarakat keturunan Aceh (menetap beranak cucu) dengan masyarakat setempat, sekitar  tahun 1980 dan kasus IPTR (Ikatan Pelajar Tanah Rencong) di Medan dan banyak kasus-kasus lain di Gampong/dalam masyarakat bersifat berat, pembunuhan/perkelahian, individual, antar-keluarga dan masyarakat, hampir seluruhnya diselesaikan secara adat yaitu: Meurukon Damei (Peujroehteuma).
Dan penulis juga mengutif opini dari DR. Rahayu, SH.,M.Hum. dengan Judul “Beban Sejarah HAM” di tulis pada “Suara Merdeka” sabtu 10 Desember 2011,  bahwa “Tidak ada pilihan  bagi pemerintah Indonesia  selain  secara bersungguh-sungguh  harus memperbaiki  kinerja keberpihakannya pada  penegakan HAM. Apa pun persoalannya harus  segera  diselesaikan sesuai norma hukum dengan mengedepankan  perlindungan  dan penghormatan pada HAM, demokrasi, keadilan, dan perdamaian agar kelak tidak  menjadi  beban sejarah bagi generasi mendatang. Karena, seperti  kata Hannah Arendt bahwa  “negeri yang tak mampu disinari oleh masa lalu hanya akan membara dalam kabut masa depan”.
  Bila kita simak banyak pendapat bahwa pelanggaran HAM harus diselesaikan  baik melalui KKR ataupun melalui Pengadilan, di Aceh  bila kita kaji pada UU No. 11 Tahun 2011 tentang pemerintah Aceh Pasal 229 ayat (4) ada peluang untuk membentuk KKR berdasarkan kearifan lokal,  KKR Aceh dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup di dalam masyarakat, prinsip ini di Aceh masih ada, kebiasaan yang masih berlaku di Aceh tercinta seperti, Dalam kehidupan keluarga Aceh, sebenarnya tidak ada ”dendam”, karena sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). Masyarakat mengenal ”asas tungbeela” yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/beela droe” guna menegakkan kehormatan, Agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain. Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Mungkin kita masih teringat dengan Afrika Selatan yang di lambangkan dalam  Nelson Mandela, mampu  membuka  jalan baru: pemulihan  harkat kemanusian (konsep afrika selatan: ubuntu atau harkat kemanusia sejati. Sikap ini  menjadi  kemauan politik yang mengalahkan segala nafsu balas dendam, yaitu dengan membentuk KKR.       
   Dasar munculnya KKR di Indonesia  adalah TAP MPR No. V/MPR/2000 (Bab I – huruf  B alinea  kedua, dan Bab V), dan UU No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan  HAM (Pasal  47 dan penjelasannya). Secara garis besar  kedua instrumen tersebut menentukan  hal-hal sebagai berikut:
Pertama Tap. MPR No. V/MPR/2000 berisi 3 pokok:
a.       Perintah pembentukan  KKR dengan  tugas menegaskan  kebenaran  dan melaksanakan rekonsiliasi.
b.      Penegakan kebenaran tersebut harus dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkap terlebih dahulu penyalahgunaan kekuasaan dan membuka  pelanggaran HAM pada masa lalu.
c.       Pengakuan kesalahan, permintaan  maaf, pemberian maaf, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau menempuh  alternatif lain  yang bermanfaat untuk menegakkan  persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya  memperhatikan rasa keadailan masyarakat.     
       Kedua  UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berikut penjelasnnya memuat 2 hal, yaitu:
a.       Terbukanya peluang penyelesaian pelanggaran  Ham masa lalu melalui mekanisme  KKR merupakan alternatif  dari pengadilan  HAM
b.      KKR yang akan dibentuk adalah institusi  ekstra  yudisial  yang bertugas  mengungkap  pelanggaran  HAM masa lalu, yang kemudian melakukan  rekonsiliasi.
 KKR adalah fenomena yang timbul di era transisi  politik dari suatu  rezim otoriter  ke rezim demokratis, terkait  dngan  persoalan  penyelesaian  kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim  sebelumnya. KKR  pertama kalinya dikenal  di Argentina dan Uganda pada pertengahan 1980, dan sekarang  menjadi  fenomena  internasional  dengan diikuti proses tersebut  di lebih  20 negara di dunia sebagai cara mempertangggunjawabkan  kejahatan HAM yang terjadi di masa lalu. Beberapa diantaranya berhasil dengan baik, namun ada juga yang setengah berhasil dan bahkan ada pula yang gagal.
Kesadaran pentinnya  mengusut, mengungkap kebenaran  dan meminta pertanggungjawaban  rezim masa lalu melakukan kejahatan kemanusiaan, secara teoritis diyakini oleh banyak aktivis pro demokrasi merupakan jalan menuju demokrasi. Proses transisi menuju demokrasi harus berjalan di atas proses sejarah yang jujur, adil dan bertanggung jawab. Perintah baru harus menemukan jalan keluar untuk meneruskan kehidupannya, menciptakan suasana damai serta mengubur kekejaman masa lampau.
Belajar dari pengalaman beberapa negara  pelanggaran berat HAM masa lalu, maka dapat ditemukan berbagai  bentuk strategi. Ada yang mengadili secra massal pendukung  orde terdahulu, ada yang menutup buku tanpa syarat, bahkan ada yang melakukan peradilan rakyat seagaimana  dilakukan di Perancis terhadap keluarga Louis XIV dan sejumlah pejabatnya. Selain itu juga  terjadi  pengadilan  para pemenang yaitu dari penguasa baru terhadap  penguasa lama atas nama kemanusiaan, seprti  rezim Fidel castro dan Ernsto “Che’ Guevara yang mengadili pejabat pemerintahan Fulgencio Batista di Havana Kuba pada tahun 1960, pengadilan  Internasional  terhadap pimpinan  NAZI dan pimpinan militer Jepang yang berlangsung di Nuremberg dan tokyo.
Proses legal yang berhasil  membawa para pelaku  kejahatan masa lalu ke pengadilan  pada masa transisi merupakan hal yang sangt penting artinya karena proses ini mempunyai  peran besar menghapus praktek impunitas atau perlakuan istimewa’ lainnya yang sebelumnya dinikmati oleh para pemimpin negara dan aparat negara tingkat tinggi yang melanggar HAM di masa lalu. Rezim baru memerlukan legimasi sebagai dasar stabilitas politik, dan proses pengadilan  adalah hal  penting untuk menunjukkan supremasi nilai-nilai dan norma-norma demokrasi agar kepercayaan rakyat dapat diraih, karena pengadilan dapat meningkatkan konsolidasi demokrasi jangka panjang (Samuel Huntington, 1991:114-124). Sebaiknya, kegagalan mengadili dapat menyebabkan sinisme dan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem politik, karena bila kejahatan tidak diselidiki dan tidak diadili maka  akan berdampak pada tidak  tumbuhnya rasa percaya maupun norma  demokrasi masyarakat, sehinga tidak akan terjadi konsolidasi demokrasi yang sesunguhnya.
Persoalannya apakah semua masalah  dapat diselesikan menurut prosedur  hukum formalyang prosedural, birokratis dan normatif,  yang menuntut ketersediaan bukti-bukti formal dan material.  Dapatkah hakim berdiri tegak diantara tekanan sisa-sisa rezim lama yang resisten terhadap berbagai upaya  pengungkapan  kejahatan yang pernah mereka lakukan di masa lalu?  Para pemimpin militer yang merasa terancam oleh pengadilan mungkinberusaha mengubah mengubah keadaan dengan melakukn kudeta, pemberontakan, ancaman atau konfrontasi lain yang akan melemahkan kekuasaan dari pemerintah sipil. Dalam keadaan demikian, ikhawatirkan pengadilan justru akan memperkuat kecendrungan militer menantang institusi demokrasi.
Disamping itu mekanisme  penyelesaian  kejahatan  masa lalu melalui  pengadilan  ini ternyata memiliki keterbatasan, yaitu: (Eko Riyadi (Ed) 2008:367)
a.       Sulit terpenuhinya persyaratan bukti-bukti legal untuk suatu proses hukum, karena pada umumnya  alat-alat bukti sudah lenyap atau sengaja dilenyapkan.
b.      Para korban atau saksi takut mengambil risiko mengambil kesaksian.
c.       Lembaga peradilan pada umumnya lemah dan tidak dipercaya, terutama  lembaga peradilan  yang pernah menjadi  instrumen rezim otoritarian sebelumnya.
d.      Instrumen hukum  yang tersedia  tidak cukup mampu  menjaring  kejahatan negara terorganisir, karena konstruksi pasal-pasal dalam hukum publik lebih pada kejahatan-kejahatan individual.
e.       Anggota militer, sisa-sisa  kekuatan orde otoritarian, termasuk birokrasi sipil yan pernah menjadi  bagian  dari kejahatan kemanusiann masa lalu secara terbuka  atau rahasia menentang dan mengancam setiap proses hukum yang akan mengnukap kejahatan rezim masa lalu itu.
  
Kesulitan dan kekhawatiran tidak dapat bekerjanya proses hukum formal menangani kejahatan masa lalu, serta kekhawatiran bahwa jalan itu bisa membawa bangsa itu kembali ke rezim otoriter, maka situasi tersebut menjadi dorongan  kuat perlunya mekanisme baru sebagai  model penyelesaian  alternatif yang kemudian  dikenal sebagai “Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi”.
Pembentukan KKR hampir  selalu  berada  dalam konteks transisi pemerintahan, yaitu dari pemeintahan totaliter menuju pemerintahan  demokratis. Pertumbuhan  KKR semenjak pertama kali muncul  sejak dekade 1980 berlangsung sangat pesat. Sampai saat ini  belum  ada satu pun definisi yang diterima  secara umum tentang KKR, dan hanya dikenal sebagai  penamaan umum tentang KKR, dan hanya  dikenal sebagai  penamaan umum terhadap  komisi-komisi yang dibentuk pada situasi  transisi politik dalam rangka menangani  pelanggaran  berat atau kejahatan HAM di masa lalu. Menurut Priscilia Hayner, terdapat 6  elemen  yang dapat dikatakan sebagai karakter umum KKR, yaitu: (Priscilila Hayner, 1994:5)
a.       Fokus penyelidikannya pada kejahatan masa lalu;
b.      Terbentuk beberapa  saat setelah rezim otoriter tumbang;
c.       Tujuannya adalah menadapat gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan HAM dan pelanggaran hukum internasional pada suatu kurun waktu tertentu, dan tidak  memfokuskan  pada suatu kasus;
d.      Dibentuknya untuk suatu jangka waktu tertentu, biasanya berakhir setelah laporan akhir selesai dikerjakan;
e.       Memiliki kewenangan untuk mengakses informasi ke lembaga apa pun, dan mengajukan perlindungan untuk mereka yang memberikan kesaksian;
f.       Pada umumnya dibentuk  secara resmi oleh negara, baik melalui peraturan hukum nasional maupun oleh PBB (seperti KKR El Salvador) 

Model penyelesaian alternatif melalui KKR merupakan ‘kawan’ bagi penyelesaian  hukum, meskipun memiliki mekanisme dan akhir yang berbeda. Ide dasar KKR adalah rekonsiliasi antara pelaku  dan korban pelanggaran HAM yang dilakukan dengan pengungkapan keberanaran terhadap  semua peristiwa secara menyeluruh, memberikan kesempatan kepada korban untuk bicara dan menerima penjelasan tentang kejadian-kejadian penting yang berhubungan dengan pelanggaran HAM masa lalu. Dengan cara ini diharapkan  dapat meletakkan  fondasi terungkapnya kebenaran  demi tegaknya  keadilan, yang  pada gilirannya tercapai rekonsiliasi. Hal in  penting karena  keadilan transisional lebih  dari sekedar menangai  pelanggaran HAM kasus per kasus, melainkan merupakan  dasar moral  sebuah reformasi pemerintah dan masyarakat yang menghormati  martabat manusia melalui  cara-cara yang  demokratis, non kekerasan dan sesusai  dengan prinsip sipremasi hukum. Hal  ini bertujuan  agar kesalahan yang sama tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
KKR mempunyai  keistimewaan dalam cakupan, ukuran dan mandatnya. Hal ini dapat  dilihat bahwa  KKR dibentuk  untuk mencapai  beberapa  atau keseluruhan  tujuan komisi sbb: (lihat seri Kajian KKR, Elsam, Nomor 1 Tahun 2000)
a.       Memberi arti kepada  suara  korban secara individu dengan mengijinkan mereka memberikan  pernyataan kepada komisi dalam forum  dengar pendapat berkaitan dengan pelanggaran HAM yang mereka derita.
b.      Pelurusan sejarah berkaitan  dengan peristiwa-peristiwa  besar pelanggaran HAM yang biasanya disanggah oleh pengusaha, atau merupakan sebuah subyek pertikaian yang sangat kontroversial, dan KKR dapat membantu menyelesaikan masalah dengan membeberkan peristiwa  secara kredibel dan perhitungan data.
c.       Pendidikan dan pengetahuan publik.
d.      Memeriksa pelanggaran HAM  sistematis menuju reformasi kelembagaan terutama akibat  dan sifat dari pelanggaran HAM yang melembaga dan sistematik.
e.       Memberikan assesment tentang akibat pelanggaran HAM terhadap diri Korban, dimana  Komisi dapat merekomendasikan beberapa  cara untuk membantu korban  menghadapi dan mengatasinya.
f.       Pertanggungjawaban para pelaku kejahatan.

KKR pernah diupayakan  untuk  dibentuk  di Indonesia. Berakhirnya  kekuasaan  otoritarian Orde Baru pada Mei  1998 membawa  Indonesia  memasuki  era baru  yang dikenal dengan babak transisi dimana perangkat sistem demokrasi, yaitu penghormatan kepada  HAM dan supremasi hukum harus diupayakan dapat dibangun  sehingga  masa transisi dapat dilewati. Salah satu  mandat era transisi adalah  menyeleikan kejahatan  kemanusian  yang  dilakukan penguasa Orde Baru sejalan dengan konsep keadilan transisional (transisional justice),  menurut Taitel adalah: masalah keadilan transisional yang tidak terselesaikan dapat menimbulkan implikasi  yang berkepanjangan pada suatu negara.
Desakan  untuk menyelesaikan  pelanggaran HAM  di Indonesia  sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Habibi, Gus Dur, dan Megawati, desakan tersebut yang  beberpa diantaranya sudah di tindak lanjuti melalui proses pengadilan, namun proses dan putusan yang di hasilkan belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama keadilan korban. Sehingga mendorong dibentuknya KKR, dan pada tahun 2004 maka lahir lah UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR  yang terdiri dari  10 bab dan 45 pasal, akhirnya bab dan pasal tersebut layu sebelum berkembang, karena  dinyatakan  tidak sesuai /bertentangan  dengan UUDNRI 1945 oleh Mahkamah  Konstitusi, dengan sendirinya  tidak lagi dianggap ada. (Dr. Rahayu, SH.,M.Hum, 2010:135-136)
KKR  mempunyai fungsi kelembagaan  yang bersifat publik untuk mengungkap kebenaran atas pelanggaran berat HAM dan melaksanakan rekonsiliasi. Dalam hal ini  Komisi memilik tugas:
a.       Menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli  warisnya;
b.      Melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas  pelanggaran HAM yang berat.
c.       Memberikan  rekomendasi kepada Presiden  dalam hal permohonan amnesti;
d.      Menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam hal pemberian komberian kompensasi dan/atau rehabilitasi;
e.       Menyampaikan laporan tahunan  dan laporan akhir  tentang  pelaksanaan  tugas dan wewenang  berkaitan dengan perkara yang ditanganinya, kepada Presiden dan DPR dengan  tembusan  kepada MA.

Dalam  melaksanakan  tugas  tersebut Komisi  mempunyai  wewenang:
a.       Melaksanakan penyelidikan sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan.
b.      Meminta keterangan kepada korban, ahli waris korban, perilaku, dan/atau pihak lain, baik di dalam maupun  di luar  negeri.
c.       Meminta dan mendapatkan dokumen resmi  dari instansi sipil atau militer serta badan lain, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri.
d.      Melakukan koordinasi dengan instansi terkait, baik di dalam  maupun di luar negeri untuk memberikan perlindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku dan barang  bukti sesuai dengan peraturan perundangan.
e.       Memanggil setiap  orang  yang terkait  untuk  memberikan  keterangan  dan kesaksian.    
f.       Memutuskan pemberian  kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti apabila perkara sudah didaftarkan ke Pengadilan HAM.


 Pertanyaan terakhir yaitu “Kita bernegara hukum untuk apa?” (Satjipto Raharjo, 2006:9-10) Hukum  itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur  atau untuk sesuatu yang tujuan yang lebih besar, tulisan ini adalah untuk  berpikir bahwa, pada akhirnya pengaturan  oleh hukum tidak  menjadi sah semata-mata karena ia adalah hukum, tetapi karena mengejar suatu tujuan dan cita-cita tertentu. Di sini diajukan  pendapat filsafat, hukum hendaknya  bisa memberi kebahagiaan kepada rakyat dan bangsanya. Untuk itu ciptakanlah/temukanlah hukum dengan sebaik-baik.

* Pernah dimuat di Jurnal Mediasi Fakultas Hukum Unmuha

Hak Pekerja dan Kewajiban Perusahaan Atas Jamsostek


oleh :
Mukhtaruddin, SH
Alumni Fakultas Hukum UNMUHA Aceh, Anggota KIP Kabupaten Bireun, Mahasiswa program Pascasarjan Ilmu Hukum Univ. Muhammadiyah Sumatera Utara
Abstrak
Pada Tulisan ini membahastentang Hak Pekerja atas jaminan sosial sebagaimana tersebut dalam pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Atas dasar itu Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan nasional Indonesia, pembangunan ketenagakerjaan haruslah melindungi hak-hak dasar dari pekerja/buruh sehingga pada saat yang sama dapat terwujudnya kondisi yang kondusif bagi dunia usaha. Pekerja/buruh adalah sebuah subsistem yang merupakan motor penggerak dari sebuah sistem berjalannya sebuah perusahaan. Tampaknya biasa saja, sepertinya tidak bermakna, tetapi kalau dikaji lebih jauh akan kelihatan kebenarannya dalam memberi hak-hak dasar dari pada buruh.
Kata Kunci :
Ha Pekerja Atas Jaminan Sosial dan Bermartabat 

A.    Hak Pekerja
Negara memberi hak atas jaminan sosial sebagaimana tersebut dalam pasal 28H ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Atas dasar itu Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. [1]
Dalam rangka pembangunan nasional Indonesia, pembangunan ketenagakerjaan haruslah melindungi hak-hak dasar dari pekerja/buruh sehingga pada saat yang sama dapat terwujudnya kondisi yang kondusif bagi dunia usaha. Pekerja/buruh adalah sebuah subsistem yang merupakan motor penggerak dari sebuah sistem berjalannya sebuah perusahaan. Oleh sebab itu sering kali kita menjumpai adagium yang berbunyi “pekerja/buruh adalah tulang punggung perusahaan”. Adagium ini tampaknya biasa saja, sepertinya tidak bermakna, tetapi kalau dikaji lebih jauh akan kelihatan kebenarannya.[2]
Perlindungan terhadap hak-hak pekerja/buruh adalah perlindungan yang harus dilakukan oleh Negara sehingga pekerja/buruh sebagai manusia dapat terjaga harkat dan martabatnya. Paton mengatakan hak berdasarkan hukum biasanya diartikan sebagai hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Sarah Worthington menyatakan bahwa hak berdasarkan hukum ditetapkan oleh aturan hukum. Ia menambahkan bahwa di Negara yang menganut sistem civil law, hak berdasarkan hukum ditetapkan dalam kitab undang-undang. Sebaliknya, di Negara dengan sistem common law, hak berdasarkan hukum dapat diidentifikasi oleh sanksi yang dijatuhkan oleh pengadilan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap hak-hak itu. Apabila pengadilan menjatuhkan sanksi, hal itu berarti berkaitan dengan hak dan kewajiban secara hukum.[3]
Menurut Bentham, hak adalah anak dari hukum. Hak itu sendiri menjadi keuntungan dan manfaat bagi orang yang memperolehnya. Sebaliknya, kewajiban adalah tugas dan keharusan yang dirasa berat bagi orang yang menunaikannya. Hak dan kewajiban muncul secara bersamaan. Hukum tidak mungkin menciptakan hak bagi seseorang kecuali dengan menciptakan kewajiban yang setara bagi orang lain.[4]
Sehubungan dengan hak pekerja/buruh, pemerintah telah mengatur secara konkrit dalam peraturan perundang-undangan dengan melahirkan UU Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Hak pekerja/buruh atas Program Jamsostek diatur dalam pasal 3 UU Nomor 3 tahun 1992 menyebutkan : (1) Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi. (2) Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja. Jamsostek diselenggarakan oleh PT (Persero) Jamsostek, meliputi 4 (empat) program dan kepada perusahaan yang mempekerjakan paling sedikit 10 orang pekerja/buruh atau perusahaan yang membayar upah paling sedikit satu juta rupiah perbulan, mempunyai kewajiban untuk mengikutsertakan para pekerja/buruhnya ke dalam Program Jamsostek. Program dimaksud meliputi : Jaminan Kecelakaan Kerja, meliputi biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, dan/atau perawatan, biaya rehabilitasi,  santunan berupa uang yang meliputi santunan sementara tidak mampu bekerja, santunan cacat sebagian untuk selama-lamanya, santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental dan santunan kematian, Jaminan Kematian, meliputi biaya pemakaman dan santunan berupa uang, Jaminan Hari Tua, dibayarkan secara sekaligus, atau berkala, atau sebagian dan berkala, kepada tenaga kerja karena telah mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, atau  cacat total tetap setelah ditetapkan oleh dokter. Dalam hal tenaga kerja meninggal dunia, Jaminan Hari Tua dibayarkan kepada janda atau duda atau anak yatim piatu dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, hak ini adalah untuk tenaga kerja, suami atau isteri, dan anaknya, meliputi  rawat jalan tingkat pertama, rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, penunjang diagnostic, pelayanan khusus dan pelayanan gawat darurat. Perlindungan hukum terhadap pekerja merupakan pemenuhan hak dasar
yang melekat dan dilindungi oleh konstitusi sebagaimana yang diatur di dalam
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan  yang  layak  bagi  kemanusiaan”,  dan  Pasal 33  ayat (1)  yang menyatakan  bahwa“  Perekonomian  disusun  sebagai  usaha  bersama  atas kekeluargaan”.  Pelanggaran  terhadap  hak  dasar  yang  dilindungi  konstitusi merupakan pelanggaran hak asasi manusia.


A.      Kewajiban Perusahaan
Sebaliknya, hak pekerja/buruh merupakan kewajiban perusahaan terhadap pekerja/buruhnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek dinyatakan bahwa perusahaan mempunyai kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26.

B.      Sanksi
Bagi perusahaan yang tidak melakukan kewajiban tersebut dapat dikenakan sanksi pidana yang diatur dalam pasal 29, yakni diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Dalam hal pengulangan tindak pidana untuk kedua kalinya atau lebih, setelah putusan akhir telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka pelanggaran tersebut dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan. Tindak pidana dimaksud adalah pelanggaran. Selanjutnya dapat juga dikenakan sanksi administratif, ganti rugi atau denda sebagaimana diatur dalam pasal 30 UU No. 3 tahun 1992.



C.      Kesimpulan
Pemerintah telah berupaya melakukan perlindungan terhadap hak-hak pekerja/buruh dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dengan melahirkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek yang diselenggarakan oleh PT. (Persero) Jamsostek. Namun kenyataannya para pekerja/buruh belum tentu mudah untuk mendapatkan perlindungan jaminan sosial tenaga kerja. Masih banyaknya perusahaan yang belum mendaftarkan pekerja/buruh sebagai peserta jaminan sosial tenaga kerja yang diselenggarakan oleh PT. (Persero) Jamsostek. Kita lihat saja jumlah pekerja/buruh yang bekerja pada berbagai perusahaan yang ada di Kabupaten Bireuen. Dari jumlah sebanyak 1.700 pekerja/buruh yang terdata di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bireuen, baru 680 orang (40%) yang diikutsertakan dalam Program Jamsostek, sedangkan selebihnya sebanyak 1.020 orang (60%) belum didaftarkan (Serambi Indonesia, 31 Mei 2011).
            Sanksi hukum berupa ancaman hukuman bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek tergolong masih ringan sehingga memungkinkan pihak perusahaan (pengusaha) mengabaikan kewajibannya.






Daftar Pustaka
Asikin. Zainal & dkk, Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,

Kosidin. Koko, Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan dan Perjanjian Perusahaan, Mandar Maju, Bandung, 1999, 
Soepomo, Iman, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1983,
Usman. Sunyoto,
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2006,
Syamsuddin. Mohd Syaufii, Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2005,
 Tunggal. Iman Sjahputra, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarindo, Jakarta,2009
.




[1] pasal 34 ayat (2) UUD 1945
[2] Zaelani, Asyhadie, Hukum Kerja:Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, 2008
[3] Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, 2009
[4] Jeremy Bentham, Teori Perundang undangan: Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata, Hukum Pidana, 2010

* Pernah dimuat di Jurnal Mediasi Fakultas Hukum Unmuha 

KEWENANGAN, PERAN DAN TUGAS LEMBAGA TUHA PEUT DI ACEH

KEWENANGAN, PERAN DAN TUGAS LEMBAGA TUHA PEUT DI ACEH[1]

oleh :
A. Malik Musa, SH, M.Hum
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Dosen Fakultas Hukum Unmuha
Dan Pembantu Rektor IV UNMUHA
Abstrak
Dalam Tulisan ini membahas Kewenangan dan Peran Tugas Lembaga Tuha Peut di Aceh  Pembahasannya Mengenai pelaksanaan tata kehidupan adat istiadat di Aceh, diatur dalam berbagai Undang-Undang Republik Indonesia  Indonesia terdapat berbagai jenis suku bangsa antara lain Aceh, Batak, Padang, Jambi, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Dayak, Ambon, Kutai, Bugis dan lain sebagainya. Yang mempunyai wilayah hukum adat masing-masing dan bahasa yang berbeda pula.  Aceh juga mempunyai tatanan kehidupan bermasyarakat yang berkultur khas tersendiri dan mempunyai budaya lokal dan bahasa daerah yang berbeda-beda antara Iain, Suku Aceh, Gayo, Alas, Taming, Aneuk Jame, Kluet, Simeulu, dan Singkil. Walaupun dalam suku Aceh mempunyai perbedaan bahasa namun dalam penerapan adatnya tidak berbeda satu sama lain, yaitu bersendikan agama. Dengan motto "Adat ngon hukom lagee zat ngoen sifeut". Adat bermakna menjalankan pemerintahan sedangkan hukom menjalankan syariat Islam. Karna hukom dalam pengertian masyarakat Aceh adalah hukum Islam
Kata Kunci: KEWENANGAN, PERAN DAN TUGAS LEMBAGA TUHA PEUT DI ACEH

A. Latar Belakang
Dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai jenis suku bangsa antara lain Aceh, Batak, Padang, Jambi, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Dayak, Ambon, Kutai, Bugis dan lain sebagainya. Yang mempunyai wilayah hukum adat masing-masing dan bahasa yang berbeda pula. Walaupun berbeda-beda wilayah hukum dan bahasa namun pada prinsip dasarnya bertujuan untuk mengatur ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat yang bersangkutan, untuk memperoleh keadilan dan kemakmuran serta untuk mencapai kesejahteraan berkeadilan.
Dalam masyarakat Aceh juga mempunyai tatanan kehidupan bermasyarakat yang berkultur khas tersendiri dan mempunyai budaya lokal dan bahasa daerah yang berbeda-beda antara Iain, Suku Aceh, Gayo, Alas, Taming, Aneuk Jame, Kluet, Simeulu, dan Singkil. Walaupun dalam suku Aceh mempunyai perbedaan bahasa namun dalam penerapan adatnya tidak berbeda satu sama lain, yaitu bersendikan agama. Dengan motto "Adat ngon hukom lagee zat ngoen sifeut". Adat bermakna menjalankan pemerintahan sedangkan hukom menjalankan syariat Islam. Karna hukom dalam pengertian masyarakat Aceh adalah hukum Islam. Sedangkan Adat bermakna kebudayaan masyarakat (ciptaan masyarakat) untuk menata kehidupan bermasyarakat. Sehingga fungsi masing-masing tidak bertentangan satu sama lain. Sehingga lahirlah pembagian tugas dengan pribahasa Aceh, "Adat bak poe teumeureuhom, Hukom bah Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam Bak Lakseumana".
Adat bakpoe teumeureuhom, bermakna pengaturan pemerintahan dipegang oleh Raja. Hukom bak Syiah Kuala, bermakna pelaksanaan keagamaan diserahkan kepada Ulama. Kanun bak Putro Phang, Bermakna untuk mengatur tata krama pergaulan yang dipegang oleh Isteri Raja (Wanita). Reusam Bak Laksemana bermakna untuk mengatur tata mode.
Indonesia sebagai negara hukum[2] menganut sistem hukum “civil law”, yang diwarisi dari Pemerintah kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam sistem hukum civil law, hukum tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum. Hal itu ditandai oleh munculnya suatu gerakan kodifikasi oleh aliran legisme, yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum diluar Undang-Undang.
Gampong dan meunasah, adakalanya dipersepsikan dalam pemahaman terpisah. Ada yang memandang bahwa meunasah dan gampong sebagai wilayah atau teritorial. Ada pula yang memandang meunasah sebagai tempat ibadah saja, yakni tempat aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial dijalankan dalam sebuah gampong. Lembaga meunasah sebagai sarana masyarakat adat menjalankan roda pemerintahan tingkat gampong, dan keberadaan lembaga meunasah menggambarkan ciri khas sebuah gampong, karena setiap gampong ada meunasah. Kalau tidak ada meunasah, tidak dapat disebut gampong[3]
         Mengenai pelaksanaan tata kehidupan adat istiadat di Aceh, diatur dalam berbagai Undang-Undang Republik Indonesia. Dalam penerapannya sudah terjadi beberapa kali perubahan antara lain sebagai berikut:
1.   Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
2.                      Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
3.                      Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
4.                      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 17 Seri D Nomor 7);
5.                      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 18 Seri D Nomor 8);
6.                      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 8 Seri D Nomor 5);
7.                      Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03);
8.                      Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang lembaga Adat;
9.                      Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

B. Pengertian
Dengan lahirnya Qanun Nomor 09 Tahun 2008 Tentang lembaga adat maka mengenai tatanan kehidupan masyarakat adat Aceh dapat di jelaskan sebagai berikut:
1.  Lembaga Adat
Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.
2.   Mukim
Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.
3.   Tuha Lapan
1.       Pada tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat dibentuk Tuha Lapan atau nama lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
2.       Tuha Lapan atau nama lain dipilih melalui musyawarah Gampong atau nama lain atau musyawarah mukim.
3.       Tuha Lapan atau nama lain beranggotakan unsur Tuha Peut atau nama lain dan beberapa orang mewakili bidang keahlian sesuai dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau Mukim.
4.       Pengangkatan dan pemberhentian Tuha Lapan atau nama lain serta tugas dan fungsinya ditetapkan dalam musyawarah gampong atau nama lain atau mukim.
4.    Gampong
Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
      5.    Tuha Peut Gampong
Tuha Peut Gampong atau nama lain adalah unsur pemerintahan gampong yang berfungsi sebagai badan permusyawaratan gampong.

C. Tugas dan Wewenang Tuha Peut Mukim dan Gampong
1.   Tugas Tuha Peut Mukim
Tuha Peut Mukim atau nama lain mempunyai tugas:
a.    menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan mukim;
b.   merumuskan kebijakan Mukim bersama Imeum Mukim atau nama lain;
c.    memberi nasehat dan pendapat kepada Imeum Mukim atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
d.   menyelesaikan   sengketa   yang   timbul   dalam   masyarakat   bersama pemangku adat. (Pasal 20 Qanun Nomor 9 Tahun 2008)
2.   Tugas Tuha Peut Gampong
1.     Tuha Peut Gampong atau nama lain mempunyai tugas:
2.        membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan beianja gampong atau
nama lain;
3.     membahas dan menyetujui qanun gampong atau nama lain;
4.     mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong atau nama lain;
5.     menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain;
6.        merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama Keuchik atau nama
lain;
7.     memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta
maupun tidak diminta; dan
8.     menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat. (Pasal 18 Qanun Nomor 9 Tahun 2008)
3.    Wewenang Tuha Peut (Lembaga Adat)
Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) lembaga adat berwenang:
a.     menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat;
b.    membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;
c.     mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;
d.    menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syari'at Islam;
e.     menerapkan ketentuan adat;
f.     menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
g.    mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan
h.     menegakkan hukum adat.

D. Peranan Tuha Peut dalam Menyelesaikan Sengketa
(1)   Sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat meliputi:
a.    perselisihan dalam rumah tangga;
b.    sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c.    perselisihan antar warga;
d.    khalwat meusum;
e.    perselisihan tentang hak milik;
f.     pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
g.    perselisihan harta sehareukat;
h.    pencurian ringan;
i.      pencurian ternak peliharaan;
j.      pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k.     persengketaan di laut;
l.      persengketaan di pasar;
m.   penganiayaan ringan;
n.     pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
o.    pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p.    pencemaran lingkungan (skala ringan);
q.    ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r.      perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
(2)   Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan secara bertahap.
Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di Gampong atau nama lain.
(Pasal 13 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
(1)   Penyelesaian secara adat di Gampong atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas :
a.     Keuchik atau nama lain;
b.    Imeum meunasah atau nama lain;
c.     tuha peut atau nama lain;
d.    sekretaris gampong atau nama lain; dan
e.   ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
(2)  Penyelesaian secara adat di mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
a.   imeum mukim atau nama lain;
b.  imeum chik atau nama lain
c.   tuha peut atau nama lain;
d.  sekretaris mukim; dan
e.   ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
(3)   Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan Imeum Mukim atau nama lain.
(4)  Sidang musyawarah penyelesaian perselisihan/sengketa dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain, di Mesjid pada tingkat Mukim, di laot pada balee nelayan dan di tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain, Imeum Mukim atau nama lain, dan Panglima Laot atau nama lain.
(Pasal 14 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat.
(Pasal 15 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)     

E.    Peluang Dalam Pengembangan Tuha Peut
Dengan lahirnya Qanun tentang lembaga mukim Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Istiadat. Maka peluang pengambangan Tuha Peut baik Tuha Peut Mukim Maupun Tuha Peut Gampong sangat Strategis karena sudah diatur dalam berbagai aturan. Namun dalam pengembangannya perlu peran khusus dari tokoh-tokoh masyarakat untuk mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Baik fungsi maupun kewenangannya.

F.   Peran Kritis Tuha Peut Dalam Pembangunan
Sehubungan dengan adanya payung hukum terhadap keberadaan lembaga-lembaga adat di tingkat mukim dan gampong. Maka setiap perencanaan pembangunan, harus terlibat langsung untuk menyusun program-program yang dirasakan dapat membawa perubahan baik di segi mental spiritual keagamaan maupun fisik. Sehingga perubahan kehidupan masyarakat mukim dan gampong dari tahun ke tahun akan lebih baik. Misalnya, hasiI musyawarah gampong menjadi pertimbangan bagi pemerintahan kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi.

G.   Penutup
Syariat Islam adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan salah satu dari kerangka dasar agama dan ajaran Islam yang mengatur hubungan publik maupun  perdata dalam bentuk norma Ilahi.Hukum Islam telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar peraturan bangsa Indonesia dan mampu mempengaruhi praktek hukum di Indonesia, terutama dalam bidang keluarga dan sosial. Sejarah memainkan peranan yang penting, yaitu Samudera Pasai di Aceh yang merupakan tempat singgah Agama Islam pertama di Indonesia, mampu membuat doktrin Islam mempengaruhi kerajaan. Syariat Islam tersebut kemudian di terima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Perpaduan hukum tersebut kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan. Penerapan syariat Islam di Aceh yang tidak terlepas dari faktor di terimanya syariat Islam dalam tatanan hukum adat Aceh, juga disebabkan oleh faktor pejuang Aceh yang mayoritas adalah ulama. Namun meskipun secara konstitusional syariat Islam sah menjadi hukum positif Aceh, pada prakteknya hukum positif tersebut tidak seluruhnya berasal dari syariat Islam.
 
Demikianlah tulisan ini disusun namun masih banyak kekurangan dengan harapan adanya masukan dan saran dari berbagai pihak untuk melengkapi makalah ini. Terutama bagi praktisi/ tokoh masyarakat yang setiap hari menghadapi berbagai persoalan untuk dijadikan acuan dalam menjalankan tata kehidupan baik di tingkat Gampong maupun ditingkat mukim,

Daftar Pustaka

Gani, Iskandar A., 1998, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 1998.
Hadikusuma, Hilman, 1992, Hukum Adat Kontemporer, Penerbit Alumni, Bandung.

Naim, Mochtar, ”Paradigma Pembangunan”, Republika, 25 Juli 2002.

Nya’ Pha, M. Hakim, 2001, “Lembaga Gampong Merupakan Salah Satu Simpul Utama Energi Sosial Masyarakat Aceh”, Makalah dalam Simposium Daerah Forum Pascasarjana Unsyiah, 25 Juni 2001, Darussalam, Banda Aceh.
 
Sufi, Rusdi, “UU Nomor 5 tahun 1979 yang Menghancurkan Kedudukan Gampong”, Majalah Ilmiah Haba, No. 12 Tahun 2000.

Tripa, Sulaiman, 2003, Sistem Pemerintahan Gampong Sebagai Unit Pemerintahan Terendah Ditinjau dari Aspek Yuridis-Sosiologis, Skripsi, Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh
 erda No. 2/1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat-istiadat, Kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Qanun Aceh No. 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.




[1] Disampaikan Training Tuha Peut, Mukim dan Gampong Yang dilaksanakan oleh Yayasan Rumpun Bambu, Banda Aceh, 27 Maret 2010

[2] Jimly Assidique, Konsolidasi naskah UUD 1945 setelah perubahan ke-4, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal.3.
[3] Gani, Iskandar A., 1998, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 1998.hlm. 134-135


* Pernah dimuat di Jurnal Mediasi Fakultas Hukum Unmuha