.
SELAMAT DATANG DI SITUS IKATAN ALUMNI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH (IKAFHUMA)

Sabtu, 23 Agustus 2014

REKONSTRUKSI KKR-ACEH (Paradigma Konstruktivisme)




oleh
Dr. SULAIMAN, S.H., M.Hum.
Ketua Alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh
Doktor  Ilmu Hukum Univ. Diponegoro Semarang

KKR  singkatan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,   Hak Asasi Manusia, yang sudah berumur 63 Tahun setelah kita menerima Dokumen Declaration of Human Rights (UDHR), dokumen internasional yang menjadi standar pencapaian yang berlaku bagi semua rakyat dan semua negara, dokumen tersebut menjadi fondasi bagi tatanan dunia baru  guna menghapus sejarah masa lalu yang penuh pelanggaran HAM.     Para korban pelanggaran berat Hak Asasi Manusi, yang belum merasakan adanya tanda-tanda untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dimaksud, Korupsi dan HAM opini di Serambi Indonesia oleh Saifudin Bantasyam, tgl (12/12/2011) menyatakan bahwa  “Di Aceh, masih banyak korban, namun bantuan untuk mereka mulai terengah-engah dan memasuki ketidakpastian. KKR yang diharapkan, sukar diprediksi kapan akan diwujudkan.” Sementara sifat dasar yang melandasi pengertian  HAM  adalah Inheren (melekat pada manusia): HAM dimiliki manusia  martabatnya  sebagai  manusia. HAM tidak diberi, tidak bisa dibeli, tidak diwariskan dan tidak diperoleh dengan cara apapun, dan Universal: HAM  berlaku  untuk semua orang di seluruh  dunia, karena  HAM merupakan  prinsip-prinsip yang diterima secara umum tanpa dipengaruhi  oleh ras, jenis kelamin, Agama, etnis, dan pandangan  politik serta pandangan  lain, asal usul sosial atau kebangsaan.  
Tulisan  ini bermaksud untuk membahas bagaimana pembentukan KKR Aceh, yang telah di tunggu-tunggu oleh korban pelanggaran berat HAM dan pada umumnya rakyat Indonesia, walaupun terjadinya kontroversi terhadap landasan hukumnya.
Untuk itu perlu penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM di masa lalu di Aceh dengan membentuk sebuah komisi yang disebut KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) berbasis kepada kearifan lokal, dengan paradigma konstruktivisme (Realitas majemuk  dan beragam, berdasarkan  pengalaman sosial-individu, lokal, dan spesifik. Merupakan “konstruksi” mental/intelektualitas manusia, bentuk dan isi berpulang  pada penganut/pemegang  dapat berubah menjadi informed dan atau sophisticated, humanis). Jelas terlihat bahwa dari paradigma tersebut dapat dikontruksikan agar semua persoalan-persoalan, yang telah terjadi harus bisa diselesaikan, karena apabila tidak cepat diselesaikan, lambat laun akan menjadi permasalahan-permasalahan baru. 
Dengan melihat kondisi  di Aceh, adanya permintaan untuk membentuk KKR, yang dilakukan   oleh Para Korban Pelanggaran HAM, dengan  dua aksi demonstrasi antikorupsi, satu aksi lainnya dilancarkan oleh puluhan masyarakat korban konflik dan mahasiswa yang tergabung dalam panitia bersama Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Aksi ini berlangsung di depan halaman gedung DPRK Banda Aceh, Jumat (9/12). Mereka meminta Ketua DPRK meneken surat dukungan untuk mendesak agar DPRA segera mengesahkan qanun/perda Komisi Kebenaran dan Rekontruksi (KKR).
Aksi dimulai dengan berjalan kaki dari Taman Putroe Phang, Banda Aceh pukul 09.30 WIB. Mereka terus meneriakan yel-yel “KKR Harga Mati!” serta menuding DPRA telah ingkar janji. Mereka juga mengatakan akan mengerahkan massa dalam jumlah lebih banyak, jika DPRA tidak segera mengesahkan Qanun KKR. (Serambi, 10 Desember 2011).
Disini mungkin pihak-pihak terkait, diingatkan kembali agar  pembentukan KKR tersebut harus segera di bentuk, mengapa hal itu harus di mintakan untuk  pembentukan, sementara pembentukan KKR untuk Aceh landasannya   jelas dengan diundangkanya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah  Aceh, Pasal 229 ayat (1) untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan undang-undang ini  dibentuk Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh. Ayat (3) Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh bekerja  berdasarkan  peraturan  perundang-undangan, dan  ayat (4) Dalam  menyelesaikan  kasus  pelanggaran HAM di Aceh, KKR dapat mempertimbangkan  prinsip-prinsip  adat yang hidup di dalam masyarakat. Dari penjelasan ayat pasal 229 ayat (3)  yang dimaksud dengan peraturan Perundang-undangan  dalam ketentuan  ini adalah  ketentuan  di dalam  UU No. 27 tahun 2004  tentang KKR (telah di cabut oleh  Mahkamah konstitusi  melalui keputusan  Perkara Mahkamah Konstitusi  No. 006/PUU-IV/2006.  Dengan dicabutnya UU tersebut maka  penemuan hukum  (rechtsvinding), harus dilakukan, demi untuk kepentingan rakyat.
Disini yang menjadi pertanyaan mengapa KKR di Aceh belum di bentuk? Pertanyaan kedua apa alasan belum dibentuk KKR di Aceh?, UU No. 11 tahun 2011 tentang Pemerintah Aceh Pasal 260 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi  di Aceh sebagaimana dimaksud  pada pasal 229 berlaku efektif  paling lambat 1 (satu) tahun  sejak Undang-Undang ini di undangkan. Menjawab Pertanyaan pertama mungkin mengingat telah di cabutnya UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR melalui putusan  Perkara  Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006. Menjawab pertanyaan kedua alasannya adalah tidak ada landasan hukum yang kuat.  
Walau apupun alasannya namun KKR Aceh harus terbentuk, mengingat pelanggaran  berat HAM masa lalu di Indonesia muncul tiga pendekatan utama, pertama, dengan memaafkan dan melupakan apa yang telah terjadi, kemudian melanjutkan hidup” begitu saja, kedua, dengan menuntut semua pelaku melalui jalur hukum dengan menciptakan suatu pengadilan HAM, ketiga, menerima apa yang terjadi dimasa lalu, sampai pada suatu tingkat kondisi tertentu, dengan fokus tujuan menguak kebenaran dan menyediakan konpensasi dan kehabilitasi  untuk para korban dengan mendirikan  Komisi Kebenaran” dan hanya menuntut pelaku utama di ajukan ke pengadilan. Namun  di Aceh mungkin saja tidak sama tuntutan dengan di Indonesia, karena di Aceh masih mempertahankan Budaya lokal dengan kearifan lokal yang masih berlaku sampai saat ini, kearifan lokal tersebut perlu menjadi bahan perenungan (contemplation), atau sebagai bahan pertimbangan dalam pembentukan KKR Aceh, guna menjalankan amanah dari  Undang-Undang No. 11 Tahun 2006. Meskipun  terdapat kontroversi  menyangkut  identifikasi hukum substantif dengan hukum pemerintah, dan hukum prosedural dengan hukum adat setempat, para sarjana seperti Pospisil  (1954), Bohannan (1969), Friedman (1969), Lev (1972), Von Benda-Beckman (1984), dan Neder dan Todd (1978) pada umumnya  setuju menggunakan  istilah-istilah substantif dan prosedural dalam menganalisis dimensi-dimensi hukum nasional  dan hukum lokal dalam masyarakat non barat. Konsep substantif dan prosedural digunakan bukan hanya untuk memahami hukum dalam arti ide-ide, tetapi juga dalam arti penerapan hukum dan adat istiadat termasuk bagaimana penyelesaian  konflik dilakukan. Menurut Bohannan (1969:284), hukum substantif adalah  adalah seperangkat norma  yang mengatur  apa yang mesti dilakukan orang menurut adat istiadat,  aturan etis, moral dan perilaku. Sebaliknya, hukum  prosedural hanya mengatur bagaimana orang biasanya menangani pemecahan konflik ketika terjadi pelanggaran. Jadi hukum substantif  mempunyai makna yang lebih luas dari pada hukum prosedural, karena  hukum ini tidak hanya terdiri dari seperangkat peraturan yang tertulis dan yang tidak tertulis, seperti aturan, perintah, hak, kewajiban dan tanggungjawab, serta sanksi-sanksi dalam hukum  publik dan privat, tetapi juga meliputi semua prosedur yang mesti di ikuti.
 Kearifan Lokal, kehidupan adat budaya Aceh membuktikan banyak peristiwa besar (berdarah), baik yang terjadi di Aceh, maupun di luar daerah, telah diselesaikan secara Adat Damai (Ishlah/sayam/ rekonsiliasi), seperti:
1.              Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh Tahun 1962 Pelaksanaan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, suatu model, puncak penyelesaian adat (Damai) berkaitan dengan peristiwa DI/TII dengan Pemerintah RI, dilaksanakan pada tanggal 18 s.d 21 Desember 1962 di Blang Padang Banda Aceh. Penyelesaian Musyawarah Kerukunan itu dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, pemerintahan (sipil) dan militer di daerah beserta utusan Pemerintah Pusat yang ditujukan untuk menyelesaikan segala masalah yang selama 10 tahun terakhir mengganggu pengembangan dan pertumbuhan Aceh di segala bidang, dianggap terkubur habis. (A. Hasjmy, dkk, 1995:192)
2.                Di Sumatra Utara, yang dipusatkan penyelesaian di Asahan antara masyarakat keturunan Aceh (menetap beranak cucu) dengan masyarakat setempat, sekitar  tahun 1980 dan kasus IPTR (Ikatan Pelajar Tanah Rencong) di Medan dan banyak kasus-kasus lain di Gampong/dalam masyarakat bersifat berat, pembunuhan/perkelahian, individual, antar-keluarga dan masyarakat, hampir seluruhnya diselesaikan secara adat yaitu: Meurukon Damei (Peujroehteuma).
Dan penulis juga mengutif opini dari DR. Rahayu, SH.,M.Hum. dengan Judul “Beban Sejarah HAM” di tulis pada “Suara Merdeka” sabtu 10 Desember 2011,  bahwa “Tidak ada pilihan  bagi pemerintah Indonesia  selain  secara bersungguh-sungguh  harus memperbaiki  kinerja keberpihakannya pada  penegakan HAM. Apa pun persoalannya harus  segera  diselesaikan sesuai norma hukum dengan mengedepankan  perlindungan  dan penghormatan pada HAM, demokrasi, keadilan, dan perdamaian agar kelak tidak  menjadi  beban sejarah bagi generasi mendatang. Karena, seperti  kata Hannah Arendt bahwa  “negeri yang tak mampu disinari oleh masa lalu hanya akan membara dalam kabut masa depan”.
  Bila kita simak banyak pendapat bahwa pelanggaran HAM harus diselesaikan  baik melalui KKR ataupun melalui Pengadilan, di Aceh  bila kita kaji pada UU No. 11 Tahun 2011 tentang pemerintah Aceh Pasal 229 ayat (4) ada peluang untuk membentuk KKR berdasarkan kearifan lokal,  KKR Aceh dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup di dalam masyarakat, prinsip ini di Aceh masih ada, kebiasaan yang masih berlaku di Aceh tercinta seperti, Dalam kehidupan keluarga Aceh, sebenarnya tidak ada ”dendam”, karena sifat itu amat bertentangan dengan syari’at Islam (hukom ngon agama, lagei zat ngon sifeut). Masyarakat mengenal ”asas tungbeela” yang dilakukan karena terpaksa demi untuk ”membela diri/beela droe” guna menegakkan kehormatan, Agama, martabat keluarga, harta benda dan nyawa atas segala kerugian yang disebabkan oleh perbuatan orang lain. Dalam hubungan ”harkat martabat/harga diri”, paduan nilai-nilai preventif dengan represif hampir berimbang dalam benak kultur masyarakat Aceh. Mungkin kita masih teringat dengan Afrika Selatan yang di lambangkan dalam  Nelson Mandela, mampu  membuka  jalan baru: pemulihan  harkat kemanusian (konsep afrika selatan: ubuntu atau harkat kemanusia sejati. Sikap ini  menjadi  kemauan politik yang mengalahkan segala nafsu balas dendam, yaitu dengan membentuk KKR.       
   Dasar munculnya KKR di Indonesia  adalah TAP MPR No. V/MPR/2000 (Bab I – huruf  B alinea  kedua, dan Bab V), dan UU No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan  HAM (Pasal  47 dan penjelasannya). Secara garis besar  kedua instrumen tersebut menentukan  hal-hal sebagai berikut:
Pertama Tap. MPR No. V/MPR/2000 berisi 3 pokok:
a.       Perintah pembentukan  KKR dengan  tugas menegaskan  kebenaran  dan melaksanakan rekonsiliasi.
b.      Penegakan kebenaran tersebut harus dilakukan dengan dua cara, yaitu mengungkap terlebih dahulu penyalahgunaan kekuasaan dan membuka  pelanggaran HAM pada masa lalu.
c.       Pengakuan kesalahan, permintaan  maaf, pemberian maaf, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau menempuh  alternatif lain  yang bermanfaat untuk menegakkan  persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya  memperhatikan rasa keadailan masyarakat.     
       Kedua  UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM berikut penjelasnnya memuat 2 hal, yaitu:
a.       Terbukanya peluang penyelesaian pelanggaran  Ham masa lalu melalui mekanisme  KKR merupakan alternatif  dari pengadilan  HAM
b.      KKR yang akan dibentuk adalah institusi  ekstra  yudisial  yang bertugas  mengungkap  pelanggaran  HAM masa lalu, yang kemudian melakukan  rekonsiliasi.
 KKR adalah fenomena yang timbul di era transisi  politik dari suatu  rezim otoriter  ke rezim demokratis, terkait  dngan  persoalan  penyelesaian  kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim  sebelumnya. KKR  pertama kalinya dikenal  di Argentina dan Uganda pada pertengahan 1980, dan sekarang  menjadi  fenomena  internasional  dengan diikuti proses tersebut  di lebih  20 negara di dunia sebagai cara mempertangggunjawabkan  kejahatan HAM yang terjadi di masa lalu. Beberapa diantaranya berhasil dengan baik, namun ada juga yang setengah berhasil dan bahkan ada pula yang gagal.
Kesadaran pentinnya  mengusut, mengungkap kebenaran  dan meminta pertanggungjawaban  rezim masa lalu melakukan kejahatan kemanusiaan, secara teoritis diyakini oleh banyak aktivis pro demokrasi merupakan jalan menuju demokrasi. Proses transisi menuju demokrasi harus berjalan di atas proses sejarah yang jujur, adil dan bertanggung jawab. Perintah baru harus menemukan jalan keluar untuk meneruskan kehidupannya, menciptakan suasana damai serta mengubur kekejaman masa lampau.
Belajar dari pengalaman beberapa negara  pelanggaran berat HAM masa lalu, maka dapat ditemukan berbagai  bentuk strategi. Ada yang mengadili secra massal pendukung  orde terdahulu, ada yang menutup buku tanpa syarat, bahkan ada yang melakukan peradilan rakyat seagaimana  dilakukan di Perancis terhadap keluarga Louis XIV dan sejumlah pejabatnya. Selain itu juga  terjadi  pengadilan  para pemenang yaitu dari penguasa baru terhadap  penguasa lama atas nama kemanusiaan, seprti  rezim Fidel castro dan Ernsto “Che’ Guevara yang mengadili pejabat pemerintahan Fulgencio Batista di Havana Kuba pada tahun 1960, pengadilan  Internasional  terhadap pimpinan  NAZI dan pimpinan militer Jepang yang berlangsung di Nuremberg dan tokyo.
Proses legal yang berhasil  membawa para pelaku  kejahatan masa lalu ke pengadilan  pada masa transisi merupakan hal yang sangt penting artinya karena proses ini mempunyai  peran besar menghapus praktek impunitas atau perlakuan istimewa’ lainnya yang sebelumnya dinikmati oleh para pemimpin negara dan aparat negara tingkat tinggi yang melanggar HAM di masa lalu. Rezim baru memerlukan legimasi sebagai dasar stabilitas politik, dan proses pengadilan  adalah hal  penting untuk menunjukkan supremasi nilai-nilai dan norma-norma demokrasi agar kepercayaan rakyat dapat diraih, karena pengadilan dapat meningkatkan konsolidasi demokrasi jangka panjang (Samuel Huntington, 1991:114-124). Sebaiknya, kegagalan mengadili dapat menyebabkan sinisme dan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem politik, karena bila kejahatan tidak diselidiki dan tidak diadili maka  akan berdampak pada tidak  tumbuhnya rasa percaya maupun norma  demokrasi masyarakat, sehinga tidak akan terjadi konsolidasi demokrasi yang sesunguhnya.
Persoalannya apakah semua masalah  dapat diselesikan menurut prosedur  hukum formalyang prosedural, birokratis dan normatif,  yang menuntut ketersediaan bukti-bukti formal dan material.  Dapatkah hakim berdiri tegak diantara tekanan sisa-sisa rezim lama yang resisten terhadap berbagai upaya  pengungkapan  kejahatan yang pernah mereka lakukan di masa lalu?  Para pemimpin militer yang merasa terancam oleh pengadilan mungkinberusaha mengubah mengubah keadaan dengan melakukn kudeta, pemberontakan, ancaman atau konfrontasi lain yang akan melemahkan kekuasaan dari pemerintah sipil. Dalam keadaan demikian, ikhawatirkan pengadilan justru akan memperkuat kecendrungan militer menantang institusi demokrasi.
Disamping itu mekanisme  penyelesaian  kejahatan  masa lalu melalui  pengadilan  ini ternyata memiliki keterbatasan, yaitu: (Eko Riyadi (Ed) 2008:367)
a.       Sulit terpenuhinya persyaratan bukti-bukti legal untuk suatu proses hukum, karena pada umumnya  alat-alat bukti sudah lenyap atau sengaja dilenyapkan.
b.      Para korban atau saksi takut mengambil risiko mengambil kesaksian.
c.       Lembaga peradilan pada umumnya lemah dan tidak dipercaya, terutama  lembaga peradilan  yang pernah menjadi  instrumen rezim otoritarian sebelumnya.
d.      Instrumen hukum  yang tersedia  tidak cukup mampu  menjaring  kejahatan negara terorganisir, karena konstruksi pasal-pasal dalam hukum publik lebih pada kejahatan-kejahatan individual.
e.       Anggota militer, sisa-sisa  kekuatan orde otoritarian, termasuk birokrasi sipil yan pernah menjadi  bagian  dari kejahatan kemanusiann masa lalu secara terbuka  atau rahasia menentang dan mengancam setiap proses hukum yang akan mengnukap kejahatan rezim masa lalu itu.
  
Kesulitan dan kekhawatiran tidak dapat bekerjanya proses hukum formal menangani kejahatan masa lalu, serta kekhawatiran bahwa jalan itu bisa membawa bangsa itu kembali ke rezim otoriter, maka situasi tersebut menjadi dorongan  kuat perlunya mekanisme baru sebagai  model penyelesaian  alternatif yang kemudian  dikenal sebagai “Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi”.
Pembentukan KKR hampir  selalu  berada  dalam konteks transisi pemerintahan, yaitu dari pemeintahan totaliter menuju pemerintahan  demokratis. Pertumbuhan  KKR semenjak pertama kali muncul  sejak dekade 1980 berlangsung sangat pesat. Sampai saat ini  belum  ada satu pun definisi yang diterima  secara umum tentang KKR, dan hanya dikenal sebagai  penamaan umum tentang KKR, dan hanya  dikenal sebagai  penamaan umum terhadap  komisi-komisi yang dibentuk pada situasi  transisi politik dalam rangka menangani  pelanggaran  berat atau kejahatan HAM di masa lalu. Menurut Priscilia Hayner, terdapat 6  elemen  yang dapat dikatakan sebagai karakter umum KKR, yaitu: (Priscilila Hayner, 1994:5)
a.       Fokus penyelidikannya pada kejahatan masa lalu;
b.      Terbentuk beberapa  saat setelah rezim otoriter tumbang;
c.       Tujuannya adalah menadapat gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan HAM dan pelanggaran hukum internasional pada suatu kurun waktu tertentu, dan tidak  memfokuskan  pada suatu kasus;
d.      Dibentuknya untuk suatu jangka waktu tertentu, biasanya berakhir setelah laporan akhir selesai dikerjakan;
e.       Memiliki kewenangan untuk mengakses informasi ke lembaga apa pun, dan mengajukan perlindungan untuk mereka yang memberikan kesaksian;
f.       Pada umumnya dibentuk  secara resmi oleh negara, baik melalui peraturan hukum nasional maupun oleh PBB (seperti KKR El Salvador) 

Model penyelesaian alternatif melalui KKR merupakan ‘kawan’ bagi penyelesaian  hukum, meskipun memiliki mekanisme dan akhir yang berbeda. Ide dasar KKR adalah rekonsiliasi antara pelaku  dan korban pelanggaran HAM yang dilakukan dengan pengungkapan keberanaran terhadap  semua peristiwa secara menyeluruh, memberikan kesempatan kepada korban untuk bicara dan menerima penjelasan tentang kejadian-kejadian penting yang berhubungan dengan pelanggaran HAM masa lalu. Dengan cara ini diharapkan  dapat meletakkan  fondasi terungkapnya kebenaran  demi tegaknya  keadilan, yang  pada gilirannya tercapai rekonsiliasi. Hal in  penting karena  keadilan transisional lebih  dari sekedar menangai  pelanggaran HAM kasus per kasus, melainkan merupakan  dasar moral  sebuah reformasi pemerintah dan masyarakat yang menghormati  martabat manusia melalui  cara-cara yang  demokratis, non kekerasan dan sesusai  dengan prinsip sipremasi hukum. Hal  ini bertujuan  agar kesalahan yang sama tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
KKR mempunyai  keistimewaan dalam cakupan, ukuran dan mandatnya. Hal ini dapat  dilihat bahwa  KKR dibentuk  untuk mencapai  beberapa  atau keseluruhan  tujuan komisi sbb: (lihat seri Kajian KKR, Elsam, Nomor 1 Tahun 2000)
a.       Memberi arti kepada  suara  korban secara individu dengan mengijinkan mereka memberikan  pernyataan kepada komisi dalam forum  dengar pendapat berkaitan dengan pelanggaran HAM yang mereka derita.
b.      Pelurusan sejarah berkaitan  dengan peristiwa-peristiwa  besar pelanggaran HAM yang biasanya disanggah oleh pengusaha, atau merupakan sebuah subyek pertikaian yang sangat kontroversial, dan KKR dapat membantu menyelesaikan masalah dengan membeberkan peristiwa  secara kredibel dan perhitungan data.
c.       Pendidikan dan pengetahuan publik.
d.      Memeriksa pelanggaran HAM  sistematis menuju reformasi kelembagaan terutama akibat  dan sifat dari pelanggaran HAM yang melembaga dan sistematik.
e.       Memberikan assesment tentang akibat pelanggaran HAM terhadap diri Korban, dimana  Komisi dapat merekomendasikan beberapa  cara untuk membantu korban  menghadapi dan mengatasinya.
f.       Pertanggungjawaban para pelaku kejahatan.

KKR pernah diupayakan  untuk  dibentuk  di Indonesia. Berakhirnya  kekuasaan  otoritarian Orde Baru pada Mei  1998 membawa  Indonesia  memasuki  era baru  yang dikenal dengan babak transisi dimana perangkat sistem demokrasi, yaitu penghormatan kepada  HAM dan supremasi hukum harus diupayakan dapat dibangun  sehingga  masa transisi dapat dilewati. Salah satu  mandat era transisi adalah  menyeleikan kejahatan  kemanusian  yang  dilakukan penguasa Orde Baru sejalan dengan konsep keadilan transisional (transisional justice),  menurut Taitel adalah: masalah keadilan transisional yang tidak terselesaikan dapat menimbulkan implikasi  yang berkepanjangan pada suatu negara.
Desakan  untuk menyelesaikan  pelanggaran HAM  di Indonesia  sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Habibi, Gus Dur, dan Megawati, desakan tersebut yang  beberpa diantaranya sudah di tindak lanjuti melalui proses pengadilan, namun proses dan putusan yang di hasilkan belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama keadilan korban. Sehingga mendorong dibentuknya KKR, dan pada tahun 2004 maka lahir lah UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR  yang terdiri dari  10 bab dan 45 pasal, akhirnya bab dan pasal tersebut layu sebelum berkembang, karena  dinyatakan  tidak sesuai /bertentangan  dengan UUDNRI 1945 oleh Mahkamah  Konstitusi, dengan sendirinya  tidak lagi dianggap ada. (Dr. Rahayu, SH.,M.Hum, 2010:135-136)
KKR  mempunyai fungsi kelembagaan  yang bersifat publik untuk mengungkap kebenaran atas pelanggaran berat HAM dan melaksanakan rekonsiliasi. Dalam hal ini  Komisi memilik tugas:
a.       Menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli  warisnya;
b.      Melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas  pelanggaran HAM yang berat.
c.       Memberikan  rekomendasi kepada Presiden  dalam hal permohonan amnesti;
d.      Menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam hal pemberian komberian kompensasi dan/atau rehabilitasi;
e.       Menyampaikan laporan tahunan  dan laporan akhir  tentang  pelaksanaan  tugas dan wewenang  berkaitan dengan perkara yang ditanganinya, kepada Presiden dan DPR dengan  tembusan  kepada MA.

Dalam  melaksanakan  tugas  tersebut Komisi  mempunyai  wewenang:
a.       Melaksanakan penyelidikan sesuai  dengan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan.
b.      Meminta keterangan kepada korban, ahli waris korban, perilaku, dan/atau pihak lain, baik di dalam maupun  di luar  negeri.
c.       Meminta dan mendapatkan dokumen resmi  dari instansi sipil atau militer serta badan lain, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri.
d.      Melakukan koordinasi dengan instansi terkait, baik di dalam  maupun di luar negeri untuk memberikan perlindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku dan barang  bukti sesuai dengan peraturan perundangan.
e.       Memanggil setiap  orang  yang terkait  untuk  memberikan  keterangan  dan kesaksian.    
f.       Memutuskan pemberian  kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti apabila perkara sudah didaftarkan ke Pengadilan HAM.


 Pertanyaan terakhir yaitu “Kita bernegara hukum untuk apa?” (Satjipto Raharjo, 2006:9-10) Hukum  itu mengatur masyarakat semata-mata untuk mengatur  atau untuk sesuatu yang tujuan yang lebih besar, tulisan ini adalah untuk  berpikir bahwa, pada akhirnya pengaturan  oleh hukum tidak  menjadi sah semata-mata karena ia adalah hukum, tetapi karena mengejar suatu tujuan dan cita-cita tertentu. Di sini diajukan  pendapat filsafat, hukum hendaknya  bisa memberi kebahagiaan kepada rakyat dan bangsanya. Untuk itu ciptakanlah/temukanlah hukum dengan sebaik-baik.

* Pernah dimuat di Jurnal Mediasi Fakultas Hukum Unmuha