oleh :
A. Malik Musa, SH,
M.Hum
Dosen
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Dosen Fakultas Hukum Unmuha
Dan Pembantu Rektor IV UNMUHA
Abstrak
Dalam Tulisan ini membahas Kewenangan
dan Peran Tugas Lembaga Tuha Peut di Aceh Pembahasannya Mengenai pelaksanaan
tata kehidupan adat istiadat di Aceh, diatur dalam
berbagai Undang-Undang Republik Indonesia Indonesia
terdapat berbagai jenis suku bangsa antara lain
Aceh, Batak, Padang, Jambi, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Dayak, Ambon, Kutai, Bugis dan lain sebagainya. Yang mempunyai
wilayah hukum adat masing-masing
dan bahasa yang berbeda pula. Aceh juga mempunyai
tatanan kehidupan bermasyarakat yang
berkultur khas tersendiri dan mempunyai budaya lokal dan bahasa daerah yang
berbeda-beda antara Iain, Suku Aceh, Gayo, Alas, Taming, Aneuk Jame,
Kluet, Simeulu, dan Singkil. Walaupun dalam suku Aceh mempunyai perbedaan
bahasa namun dalam penerapan adatnya tidak berbeda satu sama lain, yaitu
bersendikan agama. Dengan motto "Adat
ngon hukom lagee zat ngoen sifeut".
Adat bermakna menjalankan
pemerintahan sedangkan hukom menjalankan
syariat Islam. Karna hukom dalam
pengertian masyarakat Aceh adalah
hukum Islam
Kata
Kunci: KEWENANGAN,
PERAN DAN TUGAS LEMBAGA TUHA PEUT DI ACEH
A.
Latar Belakang
Dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai jenis suku
bangsa antara lain Aceh, Batak, Padang, Jambi, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Dayak,
Ambon,
Kutai, Bugis dan lain sebagainya. Yang mempunyai wilayah hukum adat masing-masing
dan bahasa yang berbeda pula. Walaupun berbeda-beda wilayah hukum dan bahasa namun pada prinsip
dasarnya bertujuan untuk mengatur ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat
yang bersangkutan, untuk memperoleh
keadilan dan kemakmuran serta untuk mencapai kesejahteraan berkeadilan.
Dalam
masyarakat Aceh juga mempunyai tatanan kehidupan bermasyarakat yang berkultur khas tersendiri dan mempunyai budaya lokal
dan bahasa daerah yang berbeda-beda antara Iain, Suku Aceh, Gayo, Alas, Taming,
Aneuk Jame, Kluet, Simeulu, dan Singkil. Walaupun dalam suku Aceh
mempunyai perbedaan bahasa namun dalam penerapan adatnya tidak berbeda satu
sama lain, yaitu bersendikan agama. Dengan motto "Adat ngon hukom lagee zat ngoen sifeut". Adat bermakna menjalankan pemerintahan sedangkan hukom
menjalankan syariat Islam. Karna hukom dalam pengertian masyarakat Aceh adalah hukum Islam. Sedangkan Adat bermakna
kebudayaan masyarakat (ciptaan masyarakat) untuk menata kehidupan
bermasyarakat. Sehingga fungsi masing-masing tidak bertentangan satu sama lain.
Sehingga lahirlah pembagian tugas
dengan pribahasa Aceh, "Adat bak poe teumeureuhom, Hukom bah Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam Bak
Lakseumana".
Adat bakpoe teumeureuhom, bermakna
pengaturan pemerintahan dipegang oleh Raja. Hukom bak Syiah Kuala, bermakna
pelaksanaan keagamaan diserahkan kepada Ulama. Kanun bak Putro Phang, Bermakna
untuk mengatur tata krama pergaulan yang dipegang oleh Isteri Raja (Wanita). Reusam
Bak Laksemana bermakna
untuk mengatur tata mode.
Indonesia sebagai negara
hukum[2]
menganut sistem hukum “civil law”,
yang diwarisi dari Pemerintah kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang
lalu. Dalam sistem hukum civil law,
hukum tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum. Hal itu
ditandai oleh munculnya suatu gerakan kodifikasi oleh aliran legisme, yaitu
aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum diluar
Undang-Undang.
Gampong dan meunasah,
adakalanya dipersepsikan dalam pemahaman terpisah. Ada yang memandang bahwa meunasah dan gampong sebagai wilayah atau teritorial. Ada pula yang memandang meunasah sebagai tempat ibadah saja,
yakni tempat aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial dijalankan dalam sebuah gampong. Lembaga meunasah sebagai sarana masyarakat adat menjalankan roda pemerintahan
tingkat gampong, dan keberadaan
lembaga meunasah menggambarkan ciri
khas sebuah gampong, karena setiap gampong ada meunasah. Kalau tidak ada meunasah,
tidak dapat disebut gampong[3]
Mengenai pelaksanaan tata kehidupan
adat istiadat di Aceh, diatur dalam berbagai
Undang-Undang Republik Indonesia. Dalam penerapannya sudah terjadi beberapa kali perubahan antara lain
sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956
tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan
Pembentukan Provinsi Sumatera Utara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1103);
2.
Undang-undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
3.
Undang-undang
Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4633);
4.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun
2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 17 Seri D
Nomor 7);
5.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun
2003 tentang Pemerintahan
Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 18 Seri D Nomor 8);
6.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun
2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Majelis Adat Aceh
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 8 Seri D Nomor 5);
7.
Qanun
Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe
Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03);
8.
Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang lembaga Adat;
9.
Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan
Adat dan Adat Istiadat.
B. Pengertian
Dengan
lahirnya Qanun Nomor 09 Tahun 2008 Tentang lembaga adat maka mengenai tatanan
kehidupan masyarakat adat Aceh dapat di jelaskan sebagai berikut:
1. Lembaga Adat
Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu
masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta
kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan
mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.
2. Mukim
Mukim adalah
kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu
yang dipimpin oleh Imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di
bawah camat.
3. Tuha
Lapan
1.
Pada
tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat dibentuk Tuha Lapan atau nama
lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
2.
Tuha
Lapan atau nama lain dipilih melalui musyawarah Gampong atau nama lain atau
musyawarah mukim.
3.
Tuha
Lapan atau nama lain beranggotakan unsur Tuha Peut atau nama lain dan beberapa
orang mewakili bidang keahlian sesuai dengan kebutuhan Gampong atau nama lain
atau Mukim.
4.
Pengangkatan
dan pemberhentian Tuha Lapan atau nama lain serta tugas dan fungsinya
ditetapkan dalam musyawarah gampong atau nama lain atau mukim.
4. Gampong
Gampong
atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau
nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
5. Tuha Peut Gampong
Tuha Peut Gampong atau nama lain adalah unsur pemerintahan gampong yang berfungsi
sebagai badan permusyawaratan gampong.
C. Tugas dan
Wewenang Tuha Peut Mukim dan Gampong
1. Tugas Tuha
Peut Mukim
Tuha Peut Mukim atau nama lain mempunyai tugas:
a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
dalam penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan mukim;
b. merumuskan
kebijakan Mukim bersama Imeum Mukim atau nama lain;
c. memberi nasehat dan pendapat kepada Imeum Mukim
atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
d. menyelesaikan sengketa
yang timbul dalam
masyarakat bersama pemangku adat. (Pasal 20 Qanun Nomor 9 Tahun
2008)
2. Tugas Tuha Peut Gampong
1. Tuha Peut
Gampong atau nama lain mempunyai tugas:
2.
membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan beianja
gampong atau
nama lain;
nama lain;
3. membahas dan
menyetujui qanun gampong atau nama lain;
4. mengawasi
pelaksanaan pemerintahan gampong atau nama lain;
5. menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain;
pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain;
6.
merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama
Keuchik atau nama
lain;
lain;
7. memberi nasehat
dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta
maupun tidak diminta; dan
maupun tidak diminta; dan
8. menyelesaikan
sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat. (Pasal 18 Qanun Nomor 9 Tahun
2008)
3. Wewenang
Tuha Peut (Lembaga Adat)
Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) lembaga
adat berwenang:
a. menjaga
keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat;
b. membantu pemerintah
dalam pelaksanaan pembangunan;
c. mengembangkan
dan mendorong partisipasi masyarakat;
d. menjaga
eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syari'at Islam;
e. menerapkan
ketentuan adat;
f. menyelesaikan
masalah sosial kemasyarakatan;
g. mendamaikan
sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan
h. menegakkan hukum adat.
D.
Peranan Tuha Peut dalam Menyelesaikan Sengketa
(1) Sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat
meliputi:
a. perselisihan
dalam rumah tangga;
b. sengketa antara
keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c. perselisihan
antar warga;
d. khalwat meusum;
e. perselisihan
tentang hak milik;
f. pencurian dalam
keluarga (pencurian ringan);
g. perselisihan
harta sehareukat;
h. pencurian ringan;
i.
pencurian ternak peliharaan;
j.
pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k.
persengketaan di laut;
l.
persengketaan di pasar;
m.
penganiayaan ringan;
n.
pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan
komunitas adat);
o.
pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p.
pencemaran lingkungan (skala ringan);
q.
ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r.
perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan
adat istiadat.
(2)
Penyelesaian sengketa/perselisihan
adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan secara
bertahap.
Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar
sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di Gampong atau
nama lain.
(Pasal 13 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
(1)
Penyelesaian secara adat di Gampong atau nama lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang
terdiri atas :
a.
Keuchik atau nama lain;
b.
Imeum meunasah atau nama lain;
c.
tuha peut atau nama lain;
d.
sekretaris gampong atau nama lain; dan
e.
ulama,
cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau nama lain yang bersangkutan,
sesuai dengan kebutuhan.
(2) Penyelesaian secara adat di mukim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri
atas:
a.
imeum mukim atau nama lain;
b. imeum chik atau
nama lain
c.
tuha peut atau nama lain;
d. sekretaris mukim;
dan
e.
ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim yang
bersangkutan, sesuai
dengan kebutuhan.
(3) Sidang musyawarah penyelesaian
sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada
tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau
tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik
atau nama lain dan Imeum Mukim atau nama lain.
(4) Sidang
musyawarah penyelesaian perselisihan/sengketa dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat
Gampong atau nama lain, di Mesjid pada tingkat Mukim, di laot pada balee
nelayan dan di tempat-tempat lain yang
ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain, Imeum Mukim atau nama lain, dan
Panglima Laot atau nama lain.
(Pasal 14 Qanun
Nomor 10 Tahun 2008)
Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian
perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan adat setempat.
(Pasal 15 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
E. Peluang Dalam Pengembangan Tuha Peut
Dengan
lahirnya Qanun tentang lembaga mukim Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang
Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan
Adat dan Istiadat. Maka peluang pengambangan Tuha Peut baik Tuha Peut Mukim
Maupun Tuha Peut Gampong sangat Strategis karena sudah diatur dalam berbagai
aturan. Namun dalam pengembangannya perlu
peran khusus dari tokoh-tokoh masyarakat untuk mengaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat. Baik fungsi maupun kewenangannya.
F. Peran
Kritis Tuha Peut Dalam Pembangunan
Sehubungan dengan adanya payung hukum terhadap
keberadaan lembaga-lembaga adat di tingkat mukim dan gampong. Maka setiap
perencanaan pembangunan, harus terlibat langsung untuk menyusun program-program yang
dirasakan
dapat membawa perubahan baik di segi mental spiritual keagamaan maupun fisik.
Sehingga perubahan kehidupan masyarakat mukim dan gampong dari tahun ke tahun akan lebih baik.
Misalnya, hasiI musyawarah gampong menjadi
pertimbangan bagi pemerintahan kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi.
G. Penutup
Syariat
Islam adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan salah satu dari kerangka dasar agama dan
ajaran Islam yang mengatur hubungan publik maupun perdata dalam bentuk norma Ilahi.Hukum
Islam telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar peraturan bangsa
Indonesia dan mampu mempengaruhi praktek hukum di Indonesia, terutama
dalam bidang keluarga dan sosial. Sejarah memainkan peranan yang penting,
yaitu Samudera Pasai di Aceh yang merupakan tempat singgah Agama
Islam pertama di Indonesia, mampu membuat doktrin Islam mempengaruhi kerajaan.
Syariat Islam tersebut kemudian di terima oleh masyarakat Aceh pada
saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Perpaduan
hukum tersebut kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi
kesatuan yang tidak terpisahkan. Penerapan syariat Islam
di Aceh yang tidak terlepas dari faktor di terimanya syariat Islam
dalam tatanan hukum adat Aceh, juga disebabkan oleh faktor pejuang Aceh yang
mayoritas adalah ulama. Namun meskipun secara konstitusional syariat
Islam sah menjadi hukum positif Aceh, pada prakteknya hukum positif tersebut
tidak seluruhnya berasal dari syariat Islam.
Demikianlah tulisan ini disusun namun masih banyak kekurangan dengan harapan adanya
masukan dan saran dari berbagai pihak untuk melengkapi makalah ini. Terutama bagi praktisi/ tokoh
masyarakat yang setiap hari menghadapi
berbagai persoalan untuk dijadikan acuan dalam menjalankan tata kehidupan baik di tingkat
Gampong maupun ditingkat mukim,
Daftar Pustaka
Gani, Iskandar
A., 1998, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh, Tesis, Program
Pascasarjana Unpad, Bandung, 1998.
Hadikusuma,
Hilman, 1992, Hukum Adat Kontemporer, Penerbit
Alumni, Bandung.
Naim, Mochtar, ”Paradigma Pembangunan”, Republika,
25 Juli 2002.
Nya’ Pha, M.
Hakim, 2001, “Lembaga Gampong Merupakan Salah Satu Simpul Utama Energi Sosial
Masyarakat Aceh”, Makalah dalam Simposium Daerah Forum Pascasarjana Unsyiah, 25
Juni 2001, Darussalam, Banda Aceh.
Sufi, Rusdi,
“UU Nomor 5 tahun 1979 yang Menghancurkan Kedudukan Gampong”, Majalah Ilmiah
Haba, No. 12 Tahun 2000.
Tripa,
Sulaiman, 2003, Sistem Pemerintahan Gampong Sebagai Unit Pemerintahan
Terendah Ditinjau dari Aspek Yuridis-Sosiologis, Skripsi, Fakultas Hukum
Unsyiah, Banda Aceh.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Aceh
erda No. 2/1990 tentang Pembinaan dan
Pengembangan Adat-istiadat, Kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di
Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Qanun Aceh No.
5/2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
[1] Disampaikan Training
Tuha Peut, Mukim dan Gampong Yang
dilaksanakan oleh Yayasan Rumpun Bambu, Banda
Aceh, 27 Maret 2010
[2] Jimly Assidique, Konsolidasi naskah UUD 1945
setelah perubahan ke-4, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, hal.3.
[3] Gani, Iskandar A., 1998, Kedudukan dan
Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi
Daerah dan Otonomi Desa di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana Unpad,
Bandung, 1998.hlm. 134-135
* Pernah dimuat di Jurnal Mediasi Fakultas Hukum Unmuha