.
SELAMAT DATANG DI SITUS IKATAN ALUMNI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH (IKAFHUMA)

Sabtu, 23 Agustus 2014

KEWENANGAN, PERAN DAN TUGAS LEMBAGA TUHA PEUT DI ACEH

KEWENANGAN, PERAN DAN TUGAS LEMBAGA TUHA PEUT DI ACEH[1]

oleh :
A. Malik Musa, SH, M.Hum
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Dosen Fakultas Hukum Unmuha
Dan Pembantu Rektor IV UNMUHA
Abstrak
Dalam Tulisan ini membahas Kewenangan dan Peran Tugas Lembaga Tuha Peut di Aceh  Pembahasannya Mengenai pelaksanaan tata kehidupan adat istiadat di Aceh, diatur dalam berbagai Undang-Undang Republik Indonesia  Indonesia terdapat berbagai jenis suku bangsa antara lain Aceh, Batak, Padang, Jambi, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Dayak, Ambon, Kutai, Bugis dan lain sebagainya. Yang mempunyai wilayah hukum adat masing-masing dan bahasa yang berbeda pula.  Aceh juga mempunyai tatanan kehidupan bermasyarakat yang berkultur khas tersendiri dan mempunyai budaya lokal dan bahasa daerah yang berbeda-beda antara Iain, Suku Aceh, Gayo, Alas, Taming, Aneuk Jame, Kluet, Simeulu, dan Singkil. Walaupun dalam suku Aceh mempunyai perbedaan bahasa namun dalam penerapan adatnya tidak berbeda satu sama lain, yaitu bersendikan agama. Dengan motto "Adat ngon hukom lagee zat ngoen sifeut". Adat bermakna menjalankan pemerintahan sedangkan hukom menjalankan syariat Islam. Karna hukom dalam pengertian masyarakat Aceh adalah hukum Islam
Kata Kunci: KEWENANGAN, PERAN DAN TUGAS LEMBAGA TUHA PEUT DI ACEH

A. Latar Belakang
Dalam masyarakat Indonesia terdapat berbagai jenis suku bangsa antara lain Aceh, Batak, Padang, Jambi, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Dayak, Ambon, Kutai, Bugis dan lain sebagainya. Yang mempunyai wilayah hukum adat masing-masing dan bahasa yang berbeda pula. Walaupun berbeda-beda wilayah hukum dan bahasa namun pada prinsip dasarnya bertujuan untuk mengatur ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat yang bersangkutan, untuk memperoleh keadilan dan kemakmuran serta untuk mencapai kesejahteraan berkeadilan.
Dalam masyarakat Aceh juga mempunyai tatanan kehidupan bermasyarakat yang berkultur khas tersendiri dan mempunyai budaya lokal dan bahasa daerah yang berbeda-beda antara Iain, Suku Aceh, Gayo, Alas, Taming, Aneuk Jame, Kluet, Simeulu, dan Singkil. Walaupun dalam suku Aceh mempunyai perbedaan bahasa namun dalam penerapan adatnya tidak berbeda satu sama lain, yaitu bersendikan agama. Dengan motto "Adat ngon hukom lagee zat ngoen sifeut". Adat bermakna menjalankan pemerintahan sedangkan hukom menjalankan syariat Islam. Karna hukom dalam pengertian masyarakat Aceh adalah hukum Islam. Sedangkan Adat bermakna kebudayaan masyarakat (ciptaan masyarakat) untuk menata kehidupan bermasyarakat. Sehingga fungsi masing-masing tidak bertentangan satu sama lain. Sehingga lahirlah pembagian tugas dengan pribahasa Aceh, "Adat bak poe teumeureuhom, Hukom bah Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam Bak Lakseumana".
Adat bakpoe teumeureuhom, bermakna pengaturan pemerintahan dipegang oleh Raja. Hukom bak Syiah Kuala, bermakna pelaksanaan keagamaan diserahkan kepada Ulama. Kanun bak Putro Phang, Bermakna untuk mengatur tata krama pergaulan yang dipegang oleh Isteri Raja (Wanita). Reusam Bak Laksemana bermakna untuk mengatur tata mode.
Indonesia sebagai negara hukum[2] menganut sistem hukum “civil law”, yang diwarisi dari Pemerintah kolonial Belanda semenjak ratusan tahun yang lalu. Dalam sistem hukum civil law, hukum tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum. Hal itu ditandai oleh munculnya suatu gerakan kodifikasi oleh aliran legisme, yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum diluar Undang-Undang.
Gampong dan meunasah, adakalanya dipersepsikan dalam pemahaman terpisah. Ada yang memandang bahwa meunasah dan gampong sebagai wilayah atau teritorial. Ada pula yang memandang meunasah sebagai tempat ibadah saja, yakni tempat aktivitas keagamaan dan aktivitas sosial dijalankan dalam sebuah gampong. Lembaga meunasah sebagai sarana masyarakat adat menjalankan roda pemerintahan tingkat gampong, dan keberadaan lembaga meunasah menggambarkan ciri khas sebuah gampong, karena setiap gampong ada meunasah. Kalau tidak ada meunasah, tidak dapat disebut gampong[3]
         Mengenai pelaksanaan tata kehidupan adat istiadat di Aceh, diatur dalam berbagai Undang-Undang Republik Indonesia. Dalam penerapannya sudah terjadi beberapa kali perubahan antara lain sebagai berikut:
1.   Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
2.                      Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
3.                      Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
4.                      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 17 Seri D Nomor 7);
5.                      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2003 Nomor 18 Seri D Nomor 8);
6.                      Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tatakerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Tahun 2004 Nomor 8 Seri D Nomor 5);
7.                      Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan Qanun (Lembaran Daerah Tahun 2007 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 03);
8.                      Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang lembaga Adat;
9.                      Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

B. Pengertian
Dengan lahirnya Qanun Nomor 09 Tahun 2008 Tentang lembaga adat maka mengenai tatanan kehidupan masyarakat adat Aceh dapat di jelaskan sebagai berikut:
1.  Lembaga Adat
Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh.
2.   Mukim
Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat.
3.   Tuha Lapan
1.       Pada tingkat Gampong atau nama lain dan Mukim dapat dibentuk Tuha Lapan atau nama lain sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
2.       Tuha Lapan atau nama lain dipilih melalui musyawarah Gampong atau nama lain atau musyawarah mukim.
3.       Tuha Lapan atau nama lain beranggotakan unsur Tuha Peut atau nama lain dan beberapa orang mewakili bidang keahlian sesuai dengan kebutuhan Gampong atau nama lain atau Mukim.
4.       Pengangkatan dan pemberhentian Tuha Lapan atau nama lain serta tugas dan fungsinya ditetapkan dalam musyawarah gampong atau nama lain atau mukim.
4.    Gampong
Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
      5.    Tuha Peut Gampong
Tuha Peut Gampong atau nama lain adalah unsur pemerintahan gampong yang berfungsi sebagai badan permusyawaratan gampong.

C. Tugas dan Wewenang Tuha Peut Mukim dan Gampong
1.   Tugas Tuha Peut Mukim
Tuha Peut Mukim atau nama lain mempunyai tugas:
a.    menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan mukim;
b.   merumuskan kebijakan Mukim bersama Imeum Mukim atau nama lain;
c.    memberi nasehat dan pendapat kepada Imeum Mukim atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
d.   menyelesaikan   sengketa   yang   timbul   dalam   masyarakat   bersama pemangku adat. (Pasal 20 Qanun Nomor 9 Tahun 2008)
2.   Tugas Tuha Peut Gampong
1.     Tuha Peut Gampong atau nama lain mempunyai tugas:
2.        membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan beianja gampong atau
nama lain;
3.     membahas dan menyetujui qanun gampong atau nama lain;
4.     mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong atau nama lain;
5.     menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain;
6.        merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama Keuchik atau nama
lain;
7.     memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta
maupun tidak diminta; dan
8.     menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat. (Pasal 18 Qanun Nomor 9 Tahun 2008)
3.    Wewenang Tuha Peut (Lembaga Adat)
Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) lembaga adat berwenang:
a.     menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat;
b.    membantu pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;
c.     mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;
d.    menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syari'at Islam;
e.     menerapkan ketentuan adat;
f.     menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
g.    mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan
h.     menegakkan hukum adat.

D. Peranan Tuha Peut dalam Menyelesaikan Sengketa
(1)   Sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat meliputi:
a.    perselisihan dalam rumah tangga;
b.    sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
c.    perselisihan antar warga;
d.    khalwat meusum;
e.    perselisihan tentang hak milik;
f.     pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
g.    perselisihan harta sehareukat;
h.    pencurian ringan;
i.      pencurian ternak peliharaan;
j.      pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
k.     persengketaan di laut;
l.      persengketaan di pasar;
m.   penganiayaan ringan;
n.     pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
o.    pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
p.    pencemaran lingkungan (skala ringan);
q.    ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
r.      perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
(2)   Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan secara bertahap.
Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di Gampong atau nama lain.
(Pasal 13 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
(1)   Penyelesaian secara adat di Gampong atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas :
a.     Keuchik atau nama lain;
b.    Imeum meunasah atau nama lain;
c.     tuha peut atau nama lain;
d.    sekretaris gampong atau nama lain; dan
e.   ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
(2)  Penyelesaian secara adat di mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
a.   imeum mukim atau nama lain;
b.  imeum chik atau nama lain
c.   tuha peut atau nama lain;
d.  sekretaris mukim; dan
e.   ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.
(3)   Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan Imeum Mukim atau nama lain.
(4)  Sidang musyawarah penyelesaian perselisihan/sengketa dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain, di Mesjid pada tingkat Mukim, di laot pada balee nelayan dan di tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain, Imeum Mukim atau nama lain, dan Panglima Laot atau nama lain.
(Pasal 14 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)
Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat.
(Pasal 15 Qanun Nomor 10 Tahun 2008)     

E.    Peluang Dalam Pengembangan Tuha Peut
Dengan lahirnya Qanun tentang lembaga mukim Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Istiadat. Maka peluang pengambangan Tuha Peut baik Tuha Peut Mukim Maupun Tuha Peut Gampong sangat Strategis karena sudah diatur dalam berbagai aturan. Namun dalam pengembangannya perlu peran khusus dari tokoh-tokoh masyarakat untuk mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Baik fungsi maupun kewenangannya.

F.   Peran Kritis Tuha Peut Dalam Pembangunan
Sehubungan dengan adanya payung hukum terhadap keberadaan lembaga-lembaga adat di tingkat mukim dan gampong. Maka setiap perencanaan pembangunan, harus terlibat langsung untuk menyusun program-program yang dirasakan dapat membawa perubahan baik di segi mental spiritual keagamaan maupun fisik. Sehingga perubahan kehidupan masyarakat mukim dan gampong dari tahun ke tahun akan lebih baik. Misalnya, hasiI musyawarah gampong menjadi pertimbangan bagi pemerintahan kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi.

G.   Penutup
Syariat Islam adalah bagian dari Hukum Islam, merupakan salah satu dari kerangka dasar agama dan ajaran Islam yang mengatur hubungan publik maupun  perdata dalam bentuk norma Ilahi.Hukum Islam telah berbaur dengan hukum adat yang merupakan akar peraturan bangsa Indonesia dan mampu mempengaruhi praktek hukum di Indonesia, terutama dalam bidang keluarga dan sosial. Sejarah memainkan peranan yang penting, yaitu Samudera Pasai di Aceh yang merupakan tempat singgah Agama Islam pertama di Indonesia, mampu membuat doktrin Islam mempengaruhi kerajaan. Syariat Islam tersebut kemudian di terima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Perpaduan hukum tersebut kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan. Penerapan syariat Islam di Aceh yang tidak terlepas dari faktor di terimanya syariat Islam dalam tatanan hukum adat Aceh, juga disebabkan oleh faktor pejuang Aceh yang mayoritas adalah ulama. Namun meskipun secara konstitusional syariat Islam sah menjadi hukum positif Aceh, pada prakteknya hukum positif tersebut tidak seluruhnya berasal dari syariat Islam.
 
Demikianlah tulisan ini disusun namun masih banyak kekurangan dengan harapan adanya masukan dan saran dari berbagai pihak untuk melengkapi makalah ini. Terutama bagi praktisi/ tokoh masyarakat yang setiap hari menghadapi berbagai persoalan untuk dijadikan acuan dalam menjalankan tata kehidupan baik di tingkat Gampong maupun ditingkat mukim,

Daftar Pustaka

Gani, Iskandar A., 1998, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 1998.
Hadikusuma, Hilman, 1992, Hukum Adat Kontemporer, Penerbit Alumni, Bandung.

Naim, Mochtar, ”Paradigma Pembangunan”, Republika, 25 Juli 2002.

Nya’ Pha, M. Hakim, 2001, “Lembaga Gampong Merupakan Salah Satu Simpul Utama Energi Sosial Masyarakat Aceh”, Makalah dalam Simposium Daerah Forum Pascasarjana Unsyiah, 25 Juni 2001, Darussalam, Banda Aceh.
 
Sufi, Rusdi, “UU Nomor 5 tahun 1979 yang Menghancurkan Kedudukan Gampong”, Majalah Ilmiah Haba, No. 12 Tahun 2000.

Tripa, Sulaiman, 2003, Sistem Pemerintahan Gampong Sebagai Unit Pemerintahan Terendah Ditinjau dari Aspek Yuridis-Sosiologis, Skripsi, Fakultas Hukum Unsyiah, Banda Aceh.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh
 erda No. 2/1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat-istiadat, Kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
Qanun Aceh No. 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.




[1] Disampaikan Training Tuha Peut, Mukim dan Gampong Yang dilaksanakan oleh Yayasan Rumpun Bambu, Banda Aceh, 27 Maret 2010

[2] Jimly Assidique, Konsolidasi naskah UUD 1945 setelah perubahan ke-4, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal.3.
[3] Gani, Iskandar A., 1998, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa di Aceh, Tesis, Program Pascasarjana Unpad, Bandung, 1998.hlm. 134-135


* Pernah dimuat di Jurnal Mediasi Fakultas Hukum Unmuha